Email

# Email Redaksi : parahyanganpost@yahoo.co.id, parahyanganpostv@gmail.com - Hotline : +62 852 1708 4656, +62 877 7616 1166

Jumat, 21 Oktober 2011

Sobary: Pemerintah Harus Beri Perhatian pada Pemberdayaan Rakyat Kecil


JAKARTA (PP) - Pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono sama sekali tidak mempunyai perhatian terhadap upaya pemberdayaan ekonomi masyarakat bawah. Akibatnya upaya pemberdayaan yang dilakukan masyarakat secara mendiri semakin tenggelam dalam putaran hiruk pikuk isu persoalan politik maupun hukum yang tidak pernah selesai.


"Repotnya lagi, media massa juga cenderung tidak tertarik untuk mengekspos isu pemberdayaan karena dianggap tidak seksi dan tidak eye catching. Dalam kondisi seperti ini pemerintah, dalam hal ini Presiden melalui menteri-menterinya harus mengambil peran agar isu pemberdayaan muncul ke permukaan," kata budayawan, M Sobary di Cikini, Jumat (21/10) konferensi pers Kusala Swadaya, Penghargaan Tingkat Nasional untuk Mendorong Kewirausahaan Sosial yang digelar lembaga kewirausahaan sosial Bina Swadaya.


Dikatakan Sobary, masyarakat yang mempunyai kemampuan untuk mandiri, bahkan memandirikan orang lain mestinya mendapat apresiasi dari pemerintah. Tapi hal
itu sama sekali tidak dilakukan oleh pemerintah. Sobary juga menyatakan keheranannya, para menteri mampu menyumbang partai politik hingga milyaran rupiah, namun tidak sanggup memberi penghargaan kepada warga yang mandiri.


Meski demikian, Sobari mengajak masyarakat tidak frustrasi namun justru semakin menguatkan diri untuk tetap mandiri.
"Sejak tahun 2007 kita bicara soal pemberian penghargaan kepada mereka yang aktif di bidang pemberdayaan, tapi ya sampai sekarang tidak ada gaungnya. Mulai dari DPR hingga menteri diam semua. Bagi saya, tidak ada presiden, tidak ada menteri atau wakil menteri,
Indonesia tetap eksis karena bangsa ini sebenarnya sangat mandiri," katanya.


Sobary pun memberi apresiasi kepada lembaga social enterpreunership atau kewirausahaan sosial seperti Bina Swadaya yang memberi Kusala Swadaya atau penghargaan swadaya kepada aktivis maupun lembaga yang mendukung pemberdayaan masyarakat.


Hal yang sama diungkapkan oleh praktisi usaha Sandiaga Uno. Menurutnya pemberdayaan masyarakat di bidang ekonomi melalui keuangan mikro sangat penting. Bahkan dalam masa krisis ekonomi tahun 1998 sektor ekonomi mikro ini yang sanggup bertahan. "Saat krisis ekonomi para konglomerat justru berlomba lomba minta perlindungan pemerintah. Mereka juga ngemplang pajak bahkan minta bailout. Hal itu tidak terjadi pada 52 juta pelaku ekonomi mikro. Ironisnya sektor ekonomi mikro ini justru diabaikan," kata Sandi.


Ia juga meyakini, jika krisis Eropa yang terjadi saat ini berdampak pada perekonomian Indonesia, sektor ekonomi mikro akan sanggup bertahan.


Sementara itu pendiri lembaga kewirausahaan sosial Bina Swadaya Bambang Ismawan mengatakan lembaganya mempunyai sejarah panjang mulai awal kemerdekaan hingga sampai saat ini. "Dulu kita punya donor tapi sejak 1999 kami mandiri dengan mengembangkan sejumlah unit usaha. Nilai yang ditanamkan adalah nilai kewirausahaan sosial. Artinya, keuntungan yang diperoleh lembaga tidak diperuntukkan bagi pemegang saham, melainkan untuk memajukan program-program pengembangan masyarakat. "Melalui Kusala Swadaya ini kami ingin memberikan penghargaan kepada mereka yang telah berinisiatif dan kreatif melakukan upaya-upaya peningkatan keberdayaan masyarakat," katanya. Menurut rencana Kusala Swadaya akan diberikan kepada para pemenangnya pada tanggal 27 Oktober mendatang. (ratman/BS)

Jumat, 14 Oktober 2011

Catatan 31 Tahun WALHI, Pulihkan Indonesia


JAKARTA (PP) – Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) mendesak pemerintah agar lebih mengedepankan kepentingan kesejahteraan rakyat dalam pengelolaan sumber daya alam dan mengambil jarak dari hegemoni perdagangan global yang cenderung menguntungkan Negara-negara maju. Hal ini disampaikan oleh Direktur Eksekutif WALHI, Berry Nahdian Furqan pada konfrensi pers, dalam rangka menyambut hari jadi WALHI yag ke-31 di kantornya, Jumat (14/10).

WALHI juga menilai pemerintah SBY-Budiono terlalu banyak mengakomodasi kepentingan luar negeri, baik langsung maupun tidak langsung melalui partai-partai yang selama ini menjadi koalisi pemerintahannya. Berry mengkawatirkan kemungkinan terjadinya bencana ekologis yang massif sebagai akibat rusaknya lingkungan oleh para pengusaha dan dampak dari perubahan iklim yang ekstrim jika pemerintah tidak sungguh-sungguh menata system pengelolaan lingkungan hidup di Indonesia.

Berry menyatakan bahwa saat ini tercatat 42,96 juta Ha atau setara 21% dari total luas daratan Indonesia telah mendapat izin eksporasi pertambangan. Sedangkan untuk perkebunan sawit dari rencana 26,710,800 ha, telha terealisasi 9,091,277 juta ha. Alih fungsi ekosistem rawa gambut seluas 3.145.182,20 ha. Tidak hanya itu saja, bahkan sungai-sungai kecil selain telah diubah menjadi areal kebun sawit telah pula ditimbun oleh perusahaan hingg tidak berfungsi.

Tingkat kerusakan hutan sangat massif terjadi seiring dengan lahirnya PP No.2 tahun 2008 tentang jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak yang berasal dari Penggunaan Kawasan Hutan untuk kepentingan pembangunan di luar kegiatan hutan. Disisi lain dari pengolahan hutan adalah konflik, dimana potensi konflik diperkirakan akan massif dan berlangsung panjang. Hal inidisebabkan terdapat pemukiman dan desa-desa defenitif yang di claim masuk ke dalam kawasan hutan. Saat ini setidaknya ada 19,420 desa dari 32 propinsi. Desa yng terdapat dalam Kawasan Hutan Lindung sebanyak 6.243 desa, di dalam hutan konversi 2,270 desa, di dalam hutan produksi dan produksi terbatas 12,211 desa, di dalam HPK 3,838 desa.

WALHI mencatat setidaknya pada tahun 2009 telah terjadi konflik pengelolaan kehutanan sebanyak 127 kasus, konflik perkebunan besar 38 kasus dan konflik pertambangan 120 kasus. Pada tahun 2010 kasus konflik kehutanan sebanyak 79 kasus dan konflik perkebunan sawit sebanyak 170 kasus. Dan dalam dua tahun belakangan ini setidaknya 12 orang meninggal, 21 luka tembak dan 69 orang ditahan sebagai buntut konflik.

Konflik ini semakin meningkat tajam seiring dengan terjadinya ketimpangan yang tajam dalam struktur penguasaan sumber-sumber agrarian. Hal ini dipicu adanya kebijakan pemerintah yang telah melahirkan UU No.25/2007 tentang penanaman modal. Dalam UU ini disebutkan bahwa lama penguasaan lahan dalam bentuk HGU adalah 95 tahun, sedangkan dalam UUPA No.5/1960 hanya 30 tahun. Hak Guna Bangunan dari semula 20 tahun menjadi 80 tahun. Demikian pula dengan Hak Pakai dari semula 10 tahun menjadi 70 tahun.

“Indonesia saat ini benar-benar sedang berada di jurang krisis, baik krisis kehutanan, krisis lingkungan, krisis energy hingga krisis pangan,”tambah Mukri Friatna Kepala Departemen Advokasi WALHI.

Krisis energy telah pula menghantui Indonesia karena sebagian besar sumber bahan mentah telah dipergunakan bagi kepentingan luar negeri, tidak diutamakan bagai kepentingan domestic. Dari seluruh pertambangan yang ada, 75 persen dikuasasi oleh asing dan 25 persen oleh dalam negeri. Dan untuk migas sebesar 70 persen dikuasai oleh perusahaan asal AS. Pada tahun 2004 kilang minyak nasional menghasilkan 400,48 juta barel dan pada tahun 2010 menurun menjadi 344,82 juta barel. Sedangkan import minyak mentah dari tahun ketahun cenderung meningkat, pada tahun 2008 sebesar 97 juta barel dan pada tahun 2010 menjadi 101 juta barel.

Disektor tambang batu bara, produksi batubara Indonesia pada tahun 2010 tercatat sebesar 280 juta ton atau lebih besar dari target pemerintah yaitu sebesar 250 juta ton. Dan pada tahun 2011 ini Asosiasi Pengusaha Batubara Idonesia memperkirakan produksi baru bara sebesar 340 juta ton atau lebih besar dari target pemerintah yaitu sebesar 300 juta ton. Sedangkan cadangan batubara terbukti hanya sebesar 4.328 juta ton atau hanya 0,5 persen dari total cadangan batubara dunia. Kondisi ini menunjukan bahwa pada tahun 2020 Indonesia akan mengalami krisis batubara yang akut.

Di sector pangan, Indonesia pun sedang mengalami krisis. Untuk pemenuhan bras saja pemerintah harus melakukan import. Ribuan ha sawah telah beralih fungsi menjadi areal industry, setidaknya saat ini terdapat 800 industri yang telah berdiri dan beroperasi.

Masih menurut WALHI, bahwa kerusakan lingkungan hidup telah menyebabkan tidak hal yang sangat serius, pertama adalah berkelanjutannya bencana ekologis, kedua meningkatnya angka kemiskinan dan ketiga adalah peningkatan hutang luar negeri. Letak logika atas semuanya adalah Negara membutuhkan biaya yang sangat besar untuk pembiayaan mulai dari tanggap darurat, pemulihan hingga rekontruksi.

Ali Akbar, menambahkan bahwa eksploitasi sumber daya alam masih menjadi agenda utama hamper dari setiap sector, disisi lain, buruknya penataan proses produksi dimana hanya Indonesia yang masih mengizinkan pembuangan limbah tailing kelaut, hanya Indonesia yang menggunakan parakuat sebagai zat pembunuh hama dan penyakit tanaman dan hanya Indonesia yang masih toleransi terhadao aktivitas penanaman disempadan pantai, sempadan sungai, walaupun sudah ada Keputusan Presiden No.32 tahun 1999 tentang sempadan sungai, sempadan danau, dan sempadan pantai.

Ironinya lagi, UU No.32 tahun 2009 yang seharusnya menjadi paying dari setiap regulasi dan aktivitas yang berpotensi merusak lingkungan sepertiya tidak bisa bergerak maju Karen dikerangkeng dalam jeruji kekuasaan apalagi sampai saat ini belum ada peraturan pemerintah yang menjadi turunan dari UU ini.

WALHI dengan segenap upaya, bersama dengan jaringan strategisnya secara terus menerus melakukan kampanye dan advokasi. 31 tahun bergerak dalam ranah advokasi tentu sedikit banyak telah memberikan andil dalam memastikan tetap tersediannya sumber-sumber kehidupan rakyat. Dengan tiga pilar gerakan yang dibangun, yaitu memastikan adanya jaminan kebijakan yang memastikan ketersediaan sumber-sumber kehidupan, rakyat memperoleh hk akses dan control terhadap sumber-sumber kehidupan serta membangun organisasi berbasis akar rumput, menegaskan bahwa WALHI adalah forum organisasi lingkungan yang mendedikasinya dirinya untuk Indonesia dengan visi terwujudnya tatanan kehidupan rakyat yang demokratis, adil guna keberlanjutan sumber-sumber kehidupan rakyat. (Ratman)

Minggu, 09 Oktober 2011

Pernyataan Sikap AJI tentang RUU INTELIJEN

Publik dikejutkan dengan rencana pengesahan Rancangan Undang Undang (RUU) Intelijen pada 11 Oktober 2011 dalam Rapat Paripurna Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR-RI).

Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia meminta DPR dan pemerintah tidak serta merta mengesahkan RUU Intelijen mengingat masih banyak hal yang berpotensi membahayakan kehidupan masyarakat sipil, mengancam profesi jurnalis, dan menabrak peraturan perundangan lain.

Adalah benar bahwa Komisi I DPR telah mengeluarkan DRAFT RUU Intelijen terbaru dan mengubah sejumlah materi krusial seperti wewenang penangkapan/penahanan, wewenang penyadapan, dan sanksi pidana bagi pembocor rahasia intelijen. Namun, semua itu belum cukup, mengingat masih ada pasal-pasal lain yang apabila diterapkan dapat membahayakan kehidupan demokrasi dan kebebasan pers.

Misalnya Pasal 32 tentang penyadapan. Kewenangan penyadapan kepada aparat intelijen seharusnya diterapkan dalam situasi khusus dengan payung hukum yang jelas, seperti situasi darurat sipil, darurat militer, atau darurat perang yang pemberlakuannya melalui payung hukum dan pertanggungjawaban negara yang jelas.

AJI berpendapat pembatasan atau restriksi terhadap kebebasan melalui "penyadapan" perlu dijabarkan lebih detil dan tidak bisa diterima dalam kondisi negara tertib sipil atau dalam kondisi negara aman damai. Terkait Isu Pers Pasal 26 RUU Intelijen menyebutkan : "Setiap orang atau badan hukum dilarang membuka dan/atau membocorkan rahasia intelijen". Artinya, siapapun yang terbukti membuka atau membocorkan rahasia intelijen dapat dikenai sanksi pidana. Sanksi pidana untuk pembocor intelijen diatur dalam pasal 44 dan 45 RUU Intelijen, yakni 10 tahun penjara dan 7 tahun penjara dan atau denda ratusan juta rupiah.

AJI menilai pasal 26 RUU Intelijen cenderung subjektif, terlalu luas, dan cenderung bertabrakan dengan makna lain. Beberapa definisi "rahasia intelijen" sebagaimana dirincikan dalam pasal 25 bertabrakan dengan definisi "informasi negara".

AJI menilai pasal 26 RUU Intelijen rawan disalahgunakan aparatur negara terutama untuk melindungi kekuasaannya. Terutama pasal ini bisa dikenakan kepada jurnalis atau pegiat pers yang mempublikasikan informasi atau melakukan tugas jurnalisme investigasi dan menyebarkan laporannya kepada publik. AJI menilai rumusan pasal ini berpotensi mengancam kebebasan pers. UU Pers Nomor 40 Tahun 1999 telah mengatur tugas dan fungsi pers, khususnya Pasal 4, berbunyi : (2) Terhadap pers nasional tidak dikenakan penyensoran, pemberedelan, atau pelarangan penyiaran. (3) Untuk menjamin kemerdekaan pers, pers nasional mempunyai hak mencari, memperoleh, dan menyebarluaskan gagasan dan informasi. (4) Dalam mempertanggungjawabkan pemberitaan di depan hukum, wartawan mempunyai Hak Tolak. Harus diingat tugas jurnalis itu dilindungi dua Undang-Undang sekaligus, yakni UU Pers Nomor 40 Tahun 1999 dan UU Keterbukaan Informasi Publik (KIP) Nomor 14 Tahun 2008.

Masih pasal yang sama (pasal 26 RUU Intelijen), AJI melihat definisi "rahasia negara" ini bertabrakan dengan UU Keterbukaan Informasi Publik (KIP). Dalam pasal 17 UU Nomor 14/2008 disebutkan ada dua jenis informasi yang harus diberikan Badan Publik, yaitu informasi yang dikecualikan dan informasi terbuka. Informasi yang dikecualikan sudah diatur dalam UU Keterbukaan Informasi Publik (KIP), yakni informasi yang dapat membahayakan keamanan dan ketahanan nasional. Untuk apa mengatur materi yang sama dalam UU yang berbeda?

Atas dasar pemikiran di atas, Aliansi Jurnalis Independen (AJI) menyatakan hal-hal sebagai berikut :

1. Meminta Komisi I DPR, Pemerintah, dan masyarakat sipil menyamakan, memperjelas persepsi dan definisi tentang "rahasia negara" dan membedakannya dengan "informasi negara". Hal ini sangat penting mengingat definisi itu terutama akan berkaitan dengan pekerjaan jurnalis dalam mewartakan kebenaran kepada publik.

2. Mengingatkan DPR-RI dan pemerintah agar mendengarkan pendapat rakyat, termasuk kalangan sipil yang memiliki kepedulian masa depan bangsa dan negara Indonesia. Setiap pembuatan Undang Undang hendaknya disesuaikan dengan kondisi zaman dan tidak digunakan untuk kepentingan penguasa. Indonesia sudah meninggalkan rejim tertutup karena ketertutupan itu selalu berpeluang untuk penyalahgunaan kekuasaan.

Sejak 1999 Indonesia sudah mengadopsi pers bebas dan beretika, sehingga peraturan lain yang mengancam kebebasan pers dan keterbukaan informasi publik harus ditinjau kembali.

3. Mengajak para jurnalis dan masyarakat umum agar senantiasa menggunakan kebebasan pers dan kebebasan memperoleh informasi dengan panduan etika jurnalistik serta dapat dipertanggungjawabkan secara profesional. Setiap warga negara senantiasa menjaga ruang kebebasan berekspresi agar terhindar dari berbagai ekses pelanggaran peraturan perundangan yang berlaku.

Jakarta, 10 Oktober 2011

Ketua Umum AJI Sekretaris Jenderal

Nezar Patria Jajang Jamaludin

Selasa, 04 Oktober 2011

Binus Business School, Resmi Menjadi Anggota EFMD


Binus Business School melalui tagline-nya Shaping Innovation Leadership, berusaha untuk memenuhi kebutuhan para professional dalam menghadapi perkembangan dunia bisnis. Di era yang serba digital dan modern ini, perusahaan membutuhkan para pemimpin atau Sumber Daya Manusia yang Inovatif, berjiwa leadership serta berwawasan global.

Hal tersebut dipaparkan, Firdaus Alamsjah, Ph.D, selaku Executive Dean-Binus Business School, dalam acara Media Gathering and Workshop Design Thinking for Media, di Jakarta belum lama ini. Lebih lanjut, Firdaus mengunkapkan, bahwa, ketiga unsur tersebut tertuang dalam kurikulum program Magister Manajemen (MM), salah satu bentuk aplikasinya adalah penerapan system belajar Design Thinking, yang diberikan kepada mahasiswa sejak masa matrikulasi.

Selain kurikulum yang inovatif dan berbasis kebutuhan industry, Binus Business School mempersiapkan mahasiswanya untuk siap pakai dalam industry global, salah satunya dengan adanya program-program yang berstandart Internasional di lingkungan kampus, diantaranya visting lecture dari berbagai universitas di luar negeri serta dual degree program dengan Macquarie University, Sydney Australia.

Keunggulan lainnya, menurut Firdaus Alamsjah, dalam hal internasionalisasi terlihat dari keanggotaan Binus Business School pada EFMD (Europen Foundation of Management Development), sebuah asosiasi sekolah bisnis yang bergengsi di tingkat internasional, asosiasi ini, lanjutnya diresmikan pada tanggal 06 Juni 2011. Sebagai asosiasi jaringan terbesar internasional di bidang pengembangan manajemen, jaringan EFMD mencakup lebih dari 760 anggota kelembagaan dan mencapai lebih dari 16.000 profesional pengembangan manajemen dari akademisi, bisnis, layanan publik dan konsultasi di 80 negara di seluruh dunia.

EFMD memainkan peran sentral dalam membentuk suatu pendekatan internasional untuk pendidikan manajemen dan merupakan forum yang unik untuk informasi, jaringan penelitian, dan perdebatan tentang inovasi dan praktek terbaik dalam pengembangan manajemen. EFMD menyediakan sebuah platform internasional untuk mempertemukan para pemimpin dalam profesi pendidikan manajemen untuk merefleksikan isu-isu utama yang mereka miliki bersama.

Keanggotaan ini, merupakan salah satu langkah untuk menyiapkan Binus Business School menerima akreditasi internasional dalam beberapa tahun ke depan. Binus Business School memerlukan waktu dua tahun untuk menjadi anggota EFMD, salah satu caranya adalah dengan mendapatkan dua sponsor dari sekolah bisnis yang sudah terakreditasi EQUIS. Kedua sponsor yang turut mendukung Binus Business School adalah Australia Business School, Australia (yang sudah terakreditasi AACSB, EQUIS dan AMDA).

“Sponsor memiliki komitmen atau kewajiban untuk membantu (semacam mentor-red) supaya sekolah yang disponsori akhirnya bisa meraih akreditasi EQUIS. Kami sangat bangga menjadi member EFMD,” ujar Firdaus Alamsyah, Ph.D, Executive Binus Business School.

Dengan bergabung dalam EFMD, Binus Business School scara otomatis menjadi bagian dari jaringan internasional terkemuka di bidang pengembangan manajemen. Keberagaman jaringan EFMD memungkinkan Binus Business School untuk bertemu secara regular dengan business school-business school lainnya untuk membahas dan berbagi pengalaman. Keuntungan lainnya adalah, kini Binus Business School memiliki akses ke institusi pendidikan, perusahaan, sektor public dan konsultan di seluruh Eropa.

Sekilas Tentang Binus Business School

Program Magister Manajemen di Binus sudah dimulai sejak tahun 1993 dan kini dikenal dengan sebutan Binus Business School. Terdapat empat program yang ditawarkan, yakni : MM Young Profesional, MM Profesional Program, MM Executive Program, MM Dual Degree.

Program Young professional memiliki tiga peminatan, yaitu : MM Young Profesional in Finance Analysis, MM Young Profesional in Creative Marketing, dan MM Young Profesional in Business Management.

Program MM Profesional Program memiliki tiga peminatan, yaitu MM Profesional Applied Finance, MM Profesional Strategic Marketing, dan MM Profesional in Business Management.

Sedangkan untuk MM Dua Degree juga terdapat tiga peminatan, yaitu : Internasional Business, Marketing, dan Accounting & Finance. * (Ratman)