Email

# Email Redaksi : parahyanganpost@yahoo.co.id, parahyanganpostv@gmail.com - Hotline : +62 852 1708 4656, +62 877 7616 1166

Rabu, 18 April 2012

In-Memoriam Masdun Pranoto



  
Oleh H. Ilham Bintang (*)

Jakarta (PWI News) - Senin (13/3) pagi pamit ke Anyer, Banten. Esok harinya, tinggal jasad yang kembali ke Jakarta dan masuk ke rumah. Selasa (14/3) pagi wartawan senior Masdun Pranoto ditemukan temannya terbujur kaku di atas sajadah di dalam kamar hotel di Anyer. Laptopnya masih menyala di atas meja kerja saat ia ditemukan.

Diperkirakan mantan Ketua PWI Jaya itu menghembuskan nafas terakhirnya, sehabis salat subuh. “Sampai jam satu malam kami masih kontakan lewat sms,” kata Bunda Ratna, kawan satu majelis taklim dengan almarhum. Dengan menumpang mobil sahabatnya itu Masdun ke Anyer. Menurut Ratna, kepergian Masdun untuk mengerjakan editing biografi Hartarto, mantan Menteri Perindustrian di era Orde Baru.

Innalillahi Wainna Ilaihi Rojiun.
Saya menerima berita duka Masdun telah tiada, Selasa(14/3) pukul 08.00 pagi, dari sahabatnya Wijoyo Hartono, mantan wartawan Jawa Pos. Memang jika sudah sampai waktu, tidak siapa pun bisa mengelakkan kehendakNya. Masdun meninggal dunia dalam usia 71 tahun. Almarhum meninggalkan seorang istri, enam anak, dan sepuluh cucu.

Januari lalu saya bertemu Masdun Pranoto di rumah duka almarhum Ed Zoelverdi, mantan redaktur foto Majalah Tempo yang hari itu meninggal dunia. Setelah melayat kami bersantap siang di resto khas Makassar “Daeng Tata” di Jalan Casablanca, Jakarta Selatan, dengan Marah Sakti Siregar, serta teman satu kantor Eko Yuswanto dan Aris Amiris. Lama tidak bertemu, membuat perbincangan siang itu lebih bersifat nostalgia. Dari cerita semasa satu kantor di Harian Angkatan Bersenjata (HAB) hingga cerita sewaktu dia resign dan menjadi pemimpin redaksi Harian Suara Khatulistiwa di Pontianak, Kalimantan Barat.

Masdun ada bercerita sesuatu hal yang tidak saya mengerti maknanya. Ceritanya, dia pernah meminjam uang pada saya. “Ini sudah lama mengganjal. Sekarang waktunya saya tanyakan mengenai status pinjaman : apakah itu pinjaman atau bantuan?”. Demi Tuhan saya tidak ingat. Maka itu saya menjawab ringan saja. “Saya tidak ingat. Kalau benar adanya, sudah pasti saya ikhlaskan”. Ia langsung menjabat tangan saya. Kelak, ada teman yang menghubungkan dengan kepergian almarhum, maka cerita itu dimaknai sebagai firasat almarhum yang ingin “bersih” dari segala sangkutan sebelum wafat. Wallahualam bissawab. Tetapi kematian di atas sajadah setelah salat, sungguh kematian yang indah bagi orang beriman.

Terakhir saya bertemu Masdun Pranoto sekitar tiga minggu sebelum ia wafat. Ia bersama Wijoyo Hartono datang ke kantor. Mereka hendak melanjutkan pembicaraan rencana penerbitan media BUMN Watch. Saya dan Marah Sakti Siregar, Ketua Bidang Pendidikan PWI Pusat, menerima dia. Rencana itu sudah diutarakan di dalam dua kali pertemuan sebelumnya. Saya menaruh hormat pada semangat Masdun yang tinggi untuk menerbitkan media pers.

Tidak banyak yang berubah pada kawan ini. Ia tetap sebagaimana yang saya kenal lebih 35 tahun lalu. Santun, taat beribadah, introvert, selalu penuh gagasan, mampu memendam seberapa berat pun persoalan yang sedang dia hadapi.

Saya pertama kali berkenalan dengan Masdun Pranoto pada tahun 1975. Waktu itu ia dalam posisi Redaktur Pelaksana HAB, sedangkan saya penulis lepas di media itu. Tulisan biasa saya sampaikan melalui Masdun. Setelah beberapa kali bertemu dan berdiskusi, tahun 1976 dia menawari saya bekerja secara tetap di media tempatnya bekerja sejak tahun 1965.

Di masa itu ada dua redaktur pelaksana HAB, Masdun Pranoto dan Irsyad Sudiro. Irsyad dan Masdun bersahabat sejak remaja. Setelah lulus Sekolah Guru Agama (SGA) di Yogyakarta tahun 1961 mereka migran ke Jakarta. Dua wartawan senior itulah yang membimbing selama saya bekerja di HAB.

Bakat guru Masdun amat lekat dalam pelaksanaan tugasnya. Prinsip kehati-hatian dilaksanakan secara konsisten. Memang klop dengan prinsip kerja jurnalistik secara universal. Ia selalu menuntun wartawan untuk memenuhi syarat berita.

Tahun 1993 Masdun yang menjabat Wakil Pemimpin Redaksi resign dari HAB. Mungkin karena ingin mencicipi suasana baru di luar HAB, maka ia menerima tawaran pengusaha Osman Sapta Odang untuk menjadi Pemred Harian Suara Khatulistiwa di Pontianak, Kalimantan Barat.

Dalam organisasi PWI, ada ketentuan mengatur anggota yang pindah bekerja di media di luar domisili keanggotaan PWInya. Yang bersangkutan harus mutasi keanggotaan ke daerah baru. Ketentuan itu yang membuat Masdun Pranoto terpaksa mengundurkan diri dari jabatan Ketua PWI Jaya yang belum lama dipangkunya. Ia digantikan oleh Tarman Azzam.

Belakangan saya baru tahu, ternyata ia sebenarnya tidak pernah pindah ke Pontianak. Itu diungkap sendiri oleh Masdun ketika makan siang di resto khas Makassar itu. Soal itu disinggung juga almarhum dalam catatannya, dalam buku “Siapa-Siapa Wartawan Jakarta” (Editor Marah Sakti Siregar, 2003). Masdun menyebutkan, Sofyan Lubis, Ketua PWI Pusat waktu itu, baru akan menandatangani rekomendasi untuk Pemred Suara Khatulistiwa apabila Masdun menyanggupi mutasi.

Jenazah almarhum Masdun Pranoto dimakamkan Selasa siang di TPU Depok Mas, Depok Jaya. Keluarga, serta sejumlah sahabat dan rekan seprofesi mengantarkan jenasah almarhum ke tempat peristirahatannya yang terakhir. Irsyad Sudiro, mantan Ketua Badan Kehormatan DPR-RI menyampaikan sambutan mewakili keluarga. Sambutan mewakili wartawan disampaikan oleh Ketua Dewan Kehormatan PWI Pusat, Tarman Azzam.

Selamat jalan Masdun.

(*) Penulis adalah Sekretaris Dewan Kehormatan PWI Pusat dan Pemimpin Redaksi Tabloid C&R.

*) Sumber PWI NEWS

Perempuan Bukan Untuk Dilecehkan di Televisi


Surat Terbuka Remotivi atas Tayangan “Kakek-Kakek Narsis” di Trans TV
        

Jakarta, 18 April 2012
Kepada Yth.
Trans TV
Di Jakarta

Dengan hormat,

Remotivi adalah sebuah inisiatif warga untuk kerja pemantauan tayangan televisi di Indonesia.

Surat ini dilayangkan sebagai sikap keberatan kami atas tayangan Kakek-Kakek Narsis (KKN) yang disiarkan Trans TV setiap Senin-Jumat Pk. 00.00 WIB. Tayangan ini kami nilai berisi muatan yang melecehkan perempuan dan berpotensi menebalkan ketimpangan relasi antara laki-laki dengan perempuan. Dengan muatan macam itu, televisi, sebagai ruang publik tempat di mana permasalah publik dibicarakan dan disemai, menjadi kontraproduktif dengan upaya penyetaraan perempuan dengan laki-laki.

Pandangan atas KKN kami tempatkan dalam kerangka isu subordinasi perempuan, dan bukan pada wilayah pengaturan ekspresi perempuan atau pun pornografi seperti yang pernah dipersoalkan Komisi Penyiaran Indonesia (KPI). Di mana pada KKN, khususnya ada dua hal besar yang kami soal, yakni mengenai “diskriminasi” dan “kekerasan” terhadap perempuan.

Diskriminasi terhadap perempuan, menurut pengertian yang dijabarkan dalam Konvensi Internasional Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan, yang juga telah disahkan melalui Undang-Undang no. 7 Tahun 1984, adalah:

“setiap pembedaan, pengabaian, atau pembatasan yang dilakukan atas dasar jenis kelamin antara laki-laki dan perempuan, yang menyebabkan, mempengaruhi atau bertujuan mengurangi ataupun meniadakan pengakuan, penikmatan atau penggunaan hak asasi manusia dan kebebasan-kebebasan pokok di bidang politik, ekonomi, sosial, budaya, sipil atau apa pun lainnya oleh kaum perempuan terlepas dari status perkawinan mereka, atas dasar kesetaraan antara laki-laki dan perempuan.”

Karena kekerasan terhadap perempuan berakar dari diskriminasi gender, maka sebagaimana dijelaskan dalam Deklarasi Penghapusan Kekerasan terhadap perempuan, Ps. 1, kekerasan terhadap perempuan sebaiknya dipahami sebagai:

setiap perbuatan berdasarkan pembedaan berbasis gender yang berakibat atau mungkin berakibat kesengsaraan atau penderitaan perempuan secara fisik, seksual atau psikologis, termasuk ancaman terjadinya perbuatan tersebut, pemaksaan atau perampasan kebebasan secara sewenang-wenang, baik yang terjadi di ruang publik maupun di dalam kehidupan pribadi

Dan sebagai pendasaran, kami sitir UUD 1945 Bab XA tentang Hak Asasi Manusia pada Pasal 28C ayat (2): Setiap orang berhak untuk memajukan dirinya dalam memperjuangkan haknya secara kolektif untuk membangun masyarakat, bangsa, dan negaranya.

Berikut pendapat kami:

1.      Ketidaksetaraan relasi gender
Tayangan KKN merupakan tayangan yang dibangun dengan konsep relasi gender yang tidak setara. Meski memberi kesempatan pada banyak perempuan untuk menjadi bintang tamu, namun pada praktiknya tayangan ini bukan menghadirkan kualitas perempuan, malah justru menjadi etalase untuk memajang tubuh perempuan. Perempuan dijadikan sebagai bintang tamu, namun perempuan tidak banyak diberi kesempatan untuk berbicara. Sebaliknya, tiga pembawa acara yang kesemuanya lelaki menjadi komentator atas tubuh, hobi, dan aktivitas para perempuan. Sehingga yang terjadi adalah, perempuan dibicarakan dan lelaki sebagai pembicara. Lelaki adalah subjek, perempuan adalah objek.

2. Objektivikasi tubuh perempuan
Kegagalan tayangan ini untuk menghadirkan kualitas perempuan dengan utuh, dan mereduksinya menjadi sekadar tubuh, berpotensi membangun atau pun menebalkan stereotip perempuan sebagai objek seksual semata. Ini terlihat dari narasi dan skenario yang melulu menjurus kepada urusan syahwat laki-laki. Misalnya, adegan ketiga “kakek” meminta bintang tamu perempuan untuk melepas jas atau blazer yang dikenakan menjadi pola berulang yang diterapkan pada KKN. Contoh lain, ketiga “kakek” meminta para perempuan membuka bagian-bagian tubuhnya yang memiliki tato yang diikuti perilaku dan seruan bernada asosiatif seksual.

3. Stereotip perempuan
Pemosisian perempuan sebagai objek dalam tayangan ini, pada akhirnya berpotensi membangun stereotip negatif mengenai perempuan, atau pun menebalkan pandangan keliru yang sudah ada dalam masyarakat. Pelecehan perempuan di jalanan dengan cara digoda, misalnya, diteguhkan dalam KKN dengan “mengizinkan” para kakek memainkan beragam bentuk gestur pelecehan: menyentuh, mengintip, merangkul, memelototi payudara, dan sebagainya.

4.     Kekerasan verbal
Pilihan kata dan penggunaan psiko-bahasa dalam tayangan ini kerap kali mengandung kekerasan terhadap perempuan. Kekerasan verbal luput dari perhatian karena bersembunyi dalam humor bahkan pujian. Dalam KKN bertebaranlah berbagai bentuk kekerasan dalam bahasa yang datang dari paradigma yang menempatkan perempuan sebagai gender kelas dua. Salah satu contohnya adalah, pertanyaan para kakek yang kerap diajukan kepada bintang tamu perempuan, “Apa kesibukanmu selain cantik?”. Pertanyaan semacam ini tentu saja datang dari anggapan bahwa apa yang terpenting dari perempuan hanyalah menjadi cantik. Kegiatan utama perempuan adalah mempercantik diri, sehingga bila ada perempuan memiliki hobi di luar berdandan, ia akan menjadi nilai lebih untuk dibicarakan. Logika tersebut menggiring persepsi bahwa perempuan tak punya pendapat atau aktivitas lain yang sederajat dengan laki-laki, misalnya intelektualitasnya.

5. Iklan anak
KKN dengan segala masalahnya tersebut ternyata juga ditonton (atau menyasar) para penonton anak dan remaja. Ini terjadi ketika KKN masih ditayangkan Pk. 23.00 WIB (sekarang dipindah menjadi Pk. 00.00 WIB). Hal ini dapat diindikasikan melalui beberapa iklan produk anak yang juga ikut mensponsori acara ini. Misalnya pada 12 Desember 2012, muncullah iklan produk anak atau yang menyasar kepada anak: Panadol Anak, Scott Emulsion, dan Walls Buavita.

Mereka yang bertanggung jawab terhadap penempatan iklan tersebut tentu saja telah memperhitungkan adanya potensi penonton anak. Bagi kami ini tentu mengkhawatirkan karena anak-anak akan tumbuh besar dengan kepala mereka yang penuh oleh cara pandang yang salah terhadap perempuan. Fakta ini harusnya menjadi perhatian KPI sebagai regulator, untuk melindungi publik anak dari program yang tidak ramah anak dan perempuan.

6. Pelanggaran HAM berbasis gender
Diskriminasi dan kekerasan terhadap perempuan merupakan bentuk pelanggaran HAM berbasis gender. Ini tidak sejalan dengan UUD 1945 Pasal 28I ayat (2): Setiap orang berhak bebas dari perlakuan yang bersifat diskriminatif atas dasar apa pun dan berhak mendapatkan perlindungan terhadap perlakuan yang bersifat diskriminatif itu.

Selain paparan di atas, salah satu bentuk diskriminasi sangat jelas ditampakkan melalui keputusan pihak Trans TV dalam memecat salah satu pemeran tetap perempuan dalam KKN, yakni Nikita Mirzani. Keputusan ini merupakan buntut dari teguran kedua KPI pada 9 Januari 2012 atas muatan eksploitasi tubuh Nikita. Seperti diketahui, muatan itu ada karena bagian dari konsep tayangan. Dengan tidak mengubah konsep, tapi malah memecat Nikita, artinya Trans TV menempatkan sumber masalah ada pada perempuan.


Sehubungan dengan sikap keberatan di atas, kami minta dengan hormat agar:

·         Menghentikan tayangan KKN
Strategi Trans TV memindah jam tayang KKN dari yang semula pada Pk. 23.00 WIB menjadi Pk. 00.00 WIB tidak memecahkan persoalan. Karena persoalan utamanya bukan semata konten dewasa, melainkan muatan pelecehan perempuan. Tayangan dewasa bukan berarti diizinkan untuk melecehkan perempuan.

·         Optimalisasi KPI
Sesuai Pasal 28I UUD 1945 ayat (4) yang menuliskan bahwa “perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan hak asasi manusia adalah tanggung jawab negara, terutama pemerintah”, maka peran KPI sebagai perwakilan negara menjadi penting untuk disoal. KPI memang sudah dua kali menegur KKN, tapi yang melulu disinggung adalah mengenai aspek pornografi. Sedangkan hal yang lebih publik dan asasi, yakni isu pelecehan perempuan, sama sekali tidak disinggung.

·         Sensitif gender
Adanya sensitivitas Trans TV, juga seluruh stasiun televisi, pada permasalahan gender. Sensitif gender ini bukan saja kerap ditemui masalahnya pada perempuan, tapi warga negara lainnya, termasuk kelompok LGBT (lesbian, gay, biseksual, dan transgender). Terlepas dari apa pun preferensi seksual seseorang, setiap warga negara berhak untuk diperlakukan setara dan tidak mengalami diskriminasi.


Demikian Surat Terbuka ini kami sampaikan. Kami berharap agar pihak-pihak yang kami maksud dalam surat ini dapat segera menanggapinya dengan baik. Semoga ke depannya, tayangan-tayangan di televisi tidak kontraproduktif terhadap upaya yang tengah dilakukan berbagai lapisan masyarakat untuk membangun relasi gender yang lebih adil. Media mesti berperan mempertipis tembok budaya yang mengekang perempuan dan menyeimbangkan representasi perempuan yang dihadirkannya. Karena, perempuan bukan untuk dilecehkan di televisi dan di mana pun!

Terima kasih.

Jakarta, 18 April 2012



Roy Thaniago
Koordinator Remotivi
08-999-826-221 | roythaniago@remotivi.or.id

Tembusan:
  1. Komisi Penyiaran Indonesia
  2. Lembaga Sensor Film
  3. Komnas Perempuan

Ikut mendukung:
  1. Inspirasi Indonesia, Jakarta
  2. Komunitas Sekitarkita, Jakarta
  3. Aliansi Remaja Independen, Jakarta
  4. Laki-laki Baru, Jakarta
  5. Ikatan Gaya Arema (IGAMA), Malang
  6. Our Voice, Jakarta
  7. Institute for Ecosoc Rights, Jakarta
  8. Aliansi Sumut Bersatu, Medan
  9. Indonesia AIDS Coalition, Jakarta
  10. LAPPAN, Ambon
  11. Sapa Institut, Bandung
  12. Indonesia untuk Kemanusiaan
  13. Lembaga Studi Pers dan Informasi (LeSPI), Semarang
  14. Yayasan Pulih, Jakarta
  15. SPEK HAM, Solo
  16. Swara Parangpuan, Sulawesi
  17. Pusat Kajian Media dan Budaya Populer (PKMBP), Yogyakarta
  18. Pemantau Regulasi dan Regulator Media (PR2Media), Yogyakarta
  19. Koalisi Perempuan Indonesia Untuk Keadilan dan Demokrasi, Jakarta
  20. Rumput Tjoet Njak Dien, Yogyakarta
  21. Lembaga Studi Pers dan Pembangunan, Jakarta
  22. Lentera Timur, Jakarta
  23. Yayasan Pupa, Bengkulu
  24. FOKER, Papua
  25. Pusat Studi Perempuan dan Gender Universitas Bengkulu
  26. Nurani Perempuan, Padang
  27. WCC Mawar Balqis, Cirebon
  28. LRC-KJHAM, Semarang

Dibalik Pengerahan Pasukan AS di Darwin, Australia

Oleh : ANTON DH NUGRAHANTO


Ada sinyalemen beberapa tokoh politik di Indonesia mulai menjadikan dokumen-dokumen kontrak Bung Karno tahun 1960 terhadap sektor migas sebagai materi UU Migas yang baru pada perseteruan politik menjelang Kampanye Pemilu 2012.

Beberapa tokoh politik penting bahkan akan menjadikan isu UU Migas berkedaulatan dengan role model Venezuela sebagai kampanye politiknya. Tindakan ini belum mencuat ke publik karena beberapa tokoh ini sedang melakukan negosiasi politik dengan berbagai pihak untuk mendukung aksi gagasan politik Bung Karno terhadap UU Migas.

Mereka menyebut ini dengan kode politik : "Sukarno Operation". Beberapa penggede politik yang berasal dari Partai Konservatif juga mulai banyak menyetujui ide agresif UU Migas yang baru.
Munculnya isu 'Sukarno Operation' membuat Amerika Serikat berkeputusan memperkuat pangkalan militernya di Darwin, Australia, alasannya adalah 'sengketa dengan RRC' tapi yang tidak banyak orang tau, bahwa kehadiran pasukan Marinir AS adalah bagian dari antisipasi perkembangan politik di Indonesia.

Menurut hitung-hitungan mereka, di tahun 2014, tokoh politik lama 60% sudah menghilang, tokoh politik lama ini terdiri dari orang-orang yang memiliki hubungan erat dengan Amerika Serikat, memiliki koneksi langsung dengan Washington dan sangat Amerika Sentris. Sementara di lain pihak mulai muncul generasi muda politik baru yang mulai mengakar, menyusul hancurnya sistem politik muda bentukan partai besar yang korup. Generasi muda korup ini dicemooh dan tidak mendapatkan tempat di kalangan aktivis, walaupun mungkin di kalangan rakyat masih banyak pendukungnya.

Menurut data pula, pada Pemilu 2014 tidak lagi diramaikan artis-artis televisi yang dungu secara politik dan tidak mengerti ilmu sejarah, geopolitik, Hukum dan Tata Negara. Pada Pemilu 2014 mulai muncul generasi baru yang paham ilmu politik, sejarah, geopolitik dan ilmu yang mendukung bernegara secara agresif dan konstitusional. Kelompok ini rata-rata bergaris kiri, militan dan berpaham dasar sosialis.

Kelompok ini akan serius profesional di bidang politik. Penguasaan modal yang sejak tahun 2000-an dikuasai penerus Orde Baru lewat akuisisi perusahaan murah jaman BPPN dulu, dan kini jadi pengusaha mapan, mulai dibidik lewat ancaman nasionalisasi dan gebukan pajak oleh kelompok kiri.

Kelompok kiri yang awalnya tidak memiliki pendanaan politik, mulai mendapatkan pendanaan lewat gerakan rakyat diam-diam, dan beberapa penggede partai yang awalnya sangat kanan, juga diam-diam mulai beralih ke kiri. Beberapa partai besar bahkan mulai memasukkan anggaran dasar rumah tangga mereka menjadi warna kiri dengan sentrum yang mengacu Pasal 33 UUD 1945.

Gerakan infiltrasi kiri dan sosialisme inilah yang amat mengancam kepentingan asing, gerakan ini akan meledak dan menjadi trend di tahun 2016. Sementara kelompok konglomerasi dan neoliberal semakin terpojok posisinya karena tak mampu merembes di kalangan rakyat. Kelompok lama yang dulu begitu menguasai peta politik Indonesia selama lebih dari 50 tahun, mulai terkikis dan mengarahkan seluruh daya kekuatan politiknya untuk ikut-ikutan ke kiri.
Kelompok muda Kiri ini punya hubungan langsung ke Venezuela, Cina dan Rusia juga punya basis massa yang kuat. Kegiatan mereka amat teratur, terorganisir dan bakal mengagetkan banyak pihak. Acuan politik mereka adalah Sukarnoisme. Apabila sepuluh tahun sebelumnya mereka sangat gandrung dengan Stalin, dengan Lenin, dengan Mao, mereka mengacu pada pemikiran Gramsci atau Trotsky, kini mereka sangat hapal dan lihai menjadikan alat Sukarnoisme dan Tan Malaka sebagai bentuk paling material perjuangan politik mereka.

Kelompok ini sangat militan dan menjadikan hukum-hukum revolusi Sukarno sebagai doktrin baku, total dan harga mati. Perjuangan mereka adalah menasionalisasi sumber-sumber daya alam ke dalam struktur negara, basis argumentasi mereka adalah Pasal 33 UUD 1945.
Mereka tidak takut dengan perang melawan AS, mereka adalah generasi muda baru yang tercerahkan. Jaringan politik mereka merangkai ke seluruh lini partai politik dan ormas mulai dari sekuler sampai agama, tapi sampai sekarang mereka tidak terbaca kekuatannya.

Pemerintahan Amerika Serikat sangat takut dengan kekuatan ini, mereka sudah mengantisipasi jangan sampai Indonesia jadi 'Bolivia kedua' suatu negara satelit AS yang kemudian terpengaruh paham Chavezian. Adanya pangkalan militer di Darwin bagi kelompok muda ini juga menyalahi aturan KIAPMA, KIAPMA adalah nama Konferensi yang pernah digelar Bung Karno, sebagai bentuk Konferensi Internasional Anti Pangkalan Militer Asing.

Bersiaplah Indoenesia memasuki jaman politik baru yang keras, sebuah fase paling genting dari Demokrasi Liberal. (*)

Sabtu, 14 April 2012

Serikat Karyawan IFT Meminta CEO IFT Ikut Bertanggungjawab


Jakarta,Parahyangan Post - Manajemen PT Indonesia Finanindo Media yang diganti atau mengundurkan diri pasca-pemecatan sepihak 13 wartawan Harian Indonesia Finance Today (IFT) harus mempertanggungjawabkan pemecatan sepihak terhadap 13 orang anggota dan pengurus Serikat Karyawan IFT.

Permintaan ini disampaikan oleh Juru Bicara Serikat Karyawan Indonesia Finance Today Abdul Malik, Kamis 5 April 2012 di Jakarta. Malik mengemukakan hal ini untuk menanggapi pengunduran diri Abraham Arief dari jabatan Chief Executive Officer PT Indonesia Finanindo Media yang juga merangkap Pemimpin Redaksi Harian Indonesia Finance Today. PT Indonesia Finanindo Media merupakan perusahaan penerbit Indonesia Finance Today. “Siapapun yang merupakan bagian dari manajemen PT Indonesia Finanindo Media tidak bisa lari dan cuci tangan begitu saja dari persoalan pemecatan sepihak terhadap 13 wartawan Indonesia Finance Today,” kata Malik.

Sekadar mengingatkan, PT Indonesia Finanindo Media pada Senin 2 April 2012 secara sepihak memecat 13 wartawan Indonesia Finance Today yang tergabung dalam Serikat Karyawan IFT. Pada hari yang sama Serikat Karyawan IFT menyatakan menolak pemecatan sepihak tersebut. Selanjutnya, pada hari itu juga Serikat Karyawan IFT memberikan kuasa kepada Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Pers dan meminta advokasi kepada Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Jakarta.

Pemecatan sepihak pengurus dan anggota Serikat Karyawan IFT terkait erat dengan tuntutan Serikat Karyawan IFT kepada manajemen untuk membayarkan kembali gaji yang dipotong sepihak oleh manajemen sebesar 5% hingga 27,5%, sesuai jenjang dan jabatan redaksi, sejak Februari 2012. Tuntutan lainnya ialah membayarkan kompensasi tunai atas tunggakan Jamsostek selama lebih dari setahun, dan membayarkan tunjangan kesehatan sebesar 30% dari gaji pokok yang seharusnya dibayarkan manajemen pada akhir 2011.

Terhitung sejak 4 April 2012, dua hari setelah pemecatan sepihak 13 wartawan Indonesia Finance Today, nama Abraham Arief, Chief Executive Officer PT Indonesia Finanindo Media merangkap Pemimpin Redaksi harian Indonesia Finance Today tidak tercantum dalam boks redaksi (masthead) surat kabar Indonesia Finance Today. Abraham Arief sebelumnya merupakan mantan Direktur dan Head of Investment Banking Trimegah Securities. Anak Jaksa Agung Basrief Arief itu bergabung dengan PT Indonesia Finanindo Media sejak perusahaan tersebut berdiri pada Oktober 2010.

Saham PT Indonesia Finanindo Media dimiliki oleh perusahaan asing Horizons Pte Ltd dengan kepemilikan 68%, serta Roy Edison Maningkas, Rudolfus Pribadi Agung Sujagad, Budi Purwanto, dan Rosalie S Ticman masing-masing dengan kepemilikan 8%.


Dialog dengan Kemenakertrans

Sementara itu, pada Rabu 4 April 2012, Serikat Karyawan IFT berdialog dengan Juru Bicara Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi merangkap Staf Menteri Tenaga Kerja dan Transportasi, Dita Indah Sari, terkait pemutusan hubungan kerja secara sepihak PT Indonesia Finanindo Media terhadap 13 anggota Serikat Karyawan IFT.

Dita mendukung dialog bipartit antara Serikat Karyawan IFT dengan manajemen PT Indonesia Finanindo Media agar tercapai kesepakatan kedua belah pihak. Dita juga meminta agar manajemen PT Indonesia Finanindo Media membuka pintu dialog dengan Serikat Karyawan IFT guna membicarakan segala tuntutan Serikat dan mengupayakan negosiasi guna memenuhi hak-hak normatif seluruh karyawan PT Indonesia Finanindo Media.

“Kami prihatin perusahaan media yang selama ini menyuarakan demokrasi, ternyata manajemen di dalamnya justru tidak demokratis terhadap karyawannya sendiri,” ujar Dita di Jakarta, Rabu.
Sekretaris AJI Jakarta Dian Yuliastuti meminta manajemen IFT untuk membatalkan PHK sepihak tersebut dan membuka dialog dengan Serikat Pekerja IFT. “Ada dugaan pemecatan sepihak ini merupakan tindakan pemberangusan serikat pekerja yang dilindungi oleh undang-undang,” kata Dian.(ratman)