Email

# Email Redaksi : parahyanganpost@yahoo.co.id, parahyanganpostv@gmail.com - Hotline : +62 852 1708 4656, +62 877 7616 1166

Sabtu, 25 Februari 2012

Surat Terbuka Dosen IPB buat Presiden SBY.


Yth Presiden RI, pekan-pekan ini negeri ini menyaksikan gejolak gerakan anarkhis yang tak terhitung jumlahnya di desa-desa dan aras bawah lapisan sosial negeri ini. Sekiranya Anda dulu saat belajar di IPB sempat mempelajari ilmu-ilmu sosiologi pedesaan, maka Anda akan segera paham bahwa akar persoalan itu sesungguhnya bukan kekerasan biasa. Gejolak ini berakar kuat pada krisis pedesaan di pelosok-pelosok negeri yang bertali-temali dengan krisis penguasaan sumber-sumber penghidupan (tanah, air, hutan, dsb). Sayangnya, waktu terlalu cepat dan anda tidak sempat berkenalan dengan sosiologi pedesaan.

Dengan ini, hendak dikatakan bahwa krisis yang terjadi bukanlah krisis ekonomi biasa, tetapi krisis itu berkaitan erat dengan suasana kebatinan sosiologis rakyat Indonesia di pedesaan yang penghidupannya merasa terancam.

Krisis pedesaan itu sebenarnya bertali-temali dengan krisis kependudukan dan krisis ekologi yang menambah warna krisis pedesaan semakin kelam. Dalam suasana krisis yang kelam tersebut, rakyat menghadapi jalan buntu kemana mereka hendak memastikan jaminan hak-hak hidup mereka. Jalan buntu yang lebih membuat frustrasi adalah tak ada jalan kemana mereka mengadu, karena negara [dengan seluruh perangkatnya] menjadi terlalu asing bagi mereka. Negara menjadi asing karena negara lebih suka mendengar bukan suara orang-orang desa, melainkan suara lain dari pihak yang selama ini berseberangan dengan orang-orang desa (suara pemodal yang berselingkuh dengan para rent-seeker negeri ini).

Yth Presiden RI, bila rakyat menjadikan anarkhisme dan radikalisme sebagai habitus/cara-hidup (terlebih dibumbui dengan kekerasan dan perilaku kriminal) seperti yang mereka tunjukkan hari-hari ini pada laporan media TV-TV nasional, itu tentu bukanlah sifat orang-orang negeri ini yang sebenar-benarnya yang dikenal santun dan penuh harmoni. Kekerasan dan anarkhi juga bukan cita-cita moral para founding fathers kita tatkala mereka menyusun Pembukaan UUD 1945 yang masih kita junjung tinggi bersama.

Namun, kekerasan demi kekerasan yang mereka tunjukkan adalah sekedar reaksi atas kekerasan demi kekerasan yang menghampiri mereka setiap hari, yang telah dilakukan oleh pihak lain yang seharusnya justru melindungi mereka.

Kekerasan oleh rakyat menjadi absah, karena negara mendahului melakukan kekerasan dan anarkhisme melalui keputusan-keputusan yang menekan orang-orang desa. Eksklusi yang menyebabkan eliminasi sumber-sumber penghidupan orang desa (betapapun lemahnya legitimasi mereka berada di suatu kawasan) tak pernah dicarikan solusi hukum yang memadai. Bahkan keputusan hukum semakin meminggirkan mereka. Sesungguhnya mereka (orang-orang desa itu) hanya ingin bisa hidup cukup, tak berlebihan.

Yth Presiden RI, kita boleh berbeda pendapat, tetapi saya memandang bahwa negara telah lebih dahulu melakukan kekerasan bergelombang dari waktu ke waktu yang sistemik dan sistematis melalui Undang-Undang sektoral yang banyak melukai hati anak-anak negeri ini [sebut saja UU investasi, UU Perkebunan, UU Minerba, UU sumberdaya air dsb] dan keputusaan-keputusan regulatif turunannya yang muaranya adalah pemberian legitimasi dan hak-hak khusus kepada sektor swasta (kapitalis) yang sudah lama dikenal sebagai pihak yang sering berseberangan dengan orang desa (petani, nelayan, dan pelaku ekonomi kecil).

Saya menyebut kekerasan negara yang dilegitimasi oleh UU (undang-undang) dan regulasi turunan (yang sering dihasilkan secara konspiratif-terselubung oleh para pihak kepentingan ekonomki-kapital) sebagai pemicu penting kekerasan oleh rakyat yang saat ini berlangsung di negeri ini.

Yth Presiden RI, mohon Anda memahami pandangan saya bahwa sektor swasta-kapitalis (terutama skala raksasa dan trans-national corporation) sebagai "anak-emas" negeri ini telah juga lebih dahulu melakukan kekerasan dengan mengakumulasi material berlebihan dari tanah air akibat pengagungan etika-etika moral yang sebenarnya kurang cocok bagi negeri penuh harmoni ini.

Moral ekonomi berintikan etika yang dibangun sektor kapitalis adalah maksimisasi profit, akumulasi modal, ekspansi usaha (tak peduli meminggirkan ekonomi rakyat kecil yang telah ada lebih dahulu ada ataupun menghancurkan lingkungan hidup) tanpa pandang bulu, pengagungan terhadap individualisme dan greediness. Keangkuhan serta ketamakan para kapitalis dalam menguasai sumberdaya alam dan merusakkan materi-materi yang ada di negeri ini (kehancuran hutan dan masyarakat di dalamnya oleh ekspansi modal adalah salah satu contohnya) adalah kekerasan yang nyata dan tidak terbantahkan.

Yth Presiden RI, dengan demikian saya menyebut situasi krisis di Indonesia tercinta yang terjadi hari-hari ini adalah KEKERASAN NEGARA, KEKERASAN KAPITALIS, dan KEKERASAN RAKYAT yang bersatu padu mewarnai peradaban negeri yang katanya dipenuhi oleh rasa kasih-sayang ini.

Hulu dari segala kekerasan itu sebenarnya sangat sederhana, karena kekerasan-kekerasan itu adalah cara untuk mendapatkan sejumput kesempatan bertahan hidup di negeri ini, secara wajar. Namun kewajaran itu tak pernah tercapai, maka KEBERTAHANAN HIDUP HARUS DIREBUT DENGAN CARA KEKERASAN nan SADISTIS yang dilakukan baik oleh NEGARA, SWASTA maupun kini oleh RAKYAT. Sebuah situasi yang sangat mengenaskan bila hal ini terjadi di negeri ini.

Yth Presiden RI, marilah kita merenung, tidakkah situasi ini representasi sebuah PELURUHAN PERADABAN yang mengkhawatirkan bagi bumi-nusantara yang dikenal sangat beretika santun, penuh keadilan, dan tata-krama? Ataukah, Anda melihat hal-hal ini sebagai kewajaran sehingga Anda sekedar mengutus tim ini dan tim itu sekedar untuk "mengobati luka permukaan"?

Yth Presiden RI, daku sangat berharap Anda melakukan langkah konkrit mendasar dengan mengubah keadaan ini dari akar-akar persoalannya, bukan dari gejala yang tampak di permukaan saja. Daku sangat berharap Anda menunjukkan keberpihakan kepada orang- orang desa dan rakyat kecil yang jumlahnya jauh lebih banyak dari segelintir pemodal di negeri ini.

Yth Presiden RI, sebagai anak-bangsa, daku mengajak Anda berpikir dan bertindak lebih nyata dan lebih dalam lagi untuk menyikapi persoalan krisis bangsa ini. Sengaja kutulis surat elektronik ini dalam kalimat yang egaliter, bukan berarti daku tak menghormati Anda. Daku menghormati Anda sebagai presiden RI, karenanya kutulis surat ini kepada Anda, bukan kepada yang lain, karena kutahu hanya Presiden RI yang bisa menangani ini semua.

Surat elektronik ini kubuat dalam suasana kebatinan sebagai sesama anak bangsa yang memikirkan dan merasakan keresahan secara bersama-sama, dan prihatin kemana sebenarnya negeri ini akan dibawa.

Marilah kita berpikir lebih adil dan seimbang, mari kita ciptakan kedamaian dan suasana kebatinan yang menyejukkan seluruh komponen anak bangsa. Semoga Anda diberkahi kekuatan untuk bertindak lebih jauh bagi negeri ini oleh Allah SWT. Amien.

Salam negeri tercinta

Arya Hadi Dharmawan
Dosen Fakultas Ekologi Manusia IPB Warga Negara RI - tinggal di Bogor Jawa Barat

Tembusan: kepada rakyat Indonesia melalui jaringan beberapa milis

Komunitas Pers Sahkan Pedoman Pemberitaan Media Siber


Jakarta,Parahyangan Post - Dewan Pers dan komunitas (3/2) mengesahkan Pedoman Pemberitaan Media Siber di Gedung Dewan Pers, Jakarta. Pedoman ini menjadi panduan untuk seluruh pengelola media siber di Indonesia.

Pengesahan tersebut ditandai dengan penandatangan Pedoman Pemberitaan Media Siber oleh wakil Dewan Pers, organisasi pers, dan media siber. Selain itu, perguruan tinggi serta tokoh pers. Dari organisasi pers yang hadir, antara lain, Aliansi Jurnalis Independen (AJI), Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia (IJTI), Asosiasi Televisi Swasta Indonesia (ATVSI), dan Serikat Perusahaan Pers (SPS). Sedangkan dari media siber, antara lain, wakil dari kompas.com, detik.com, vivanews.com, jpnn.com, okezone.com, tribunews.com, mediaindonesia.com, tempo.co, suaramerdeka.com, harianjogja.com, dan lain-lain.

Anggota Dewan Pers, Agus Sudibyo menjelaskan, penyusunan Pedoman ini untuk merespon perkembangan pesat media siber di Indonesia dan meningkatnya jumlah pengaduan terhadap media siber yang diterima Dewan Pers. Di samping itu, kalangan media siber menghendaki adanya Pedoman ini.

Menurutnya, proses penyusunan Pedoman Pemberitaan Media Siber dimulai sejak tahun lalu dan sudah melalui tahapan beberapa kali diskusi, uji publik, dan rapat tim perumus. Tidak tertutup kemungkinan Pedoman ini akan direvisi dalam waktu satu atau dua tahun ke depan mengingat perkembangan pesat media siber.

Setelah penandatanganan Pedoman tersebut, Dewan Pers dalam waktu dekat akan menetapkannya sebagai Peraturan Dewan Pers.
  
PEDOMAN PEMBERITAAN MEDIA SIBER
Kemerdekaan berpendapat, kemerdekaan berekspresi, dan kemerdekaan pers adalah hak asasi manusia yang dilindungi Pancasila, Undang-Undang Dasar 1945, dan Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia PBB. Keberadaan media siber di Indonesia juga merupakan bagian dari kemerdekaan berpendapat, kemerdekaan berekspresi, dan kemerdekaan pers.
Media siber memiliki karakter khusus sehingga memerlukan pedoman agar pengelolaannya dapat dilaksanakan secara profesional, memenuhi fungsi, hak, dan kewajibannya sesuai Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers dan Kode Etik Jurnalistik. Untuk itu Dewan Pers bersama organisasi pers, pengelola media siber, dan masyarakat menyusun Pedoman Pemberitaan Media Siber sebagai berikut:

1. Ruang Lingkup
a. Media Siber adalah segala bentuk media yang menggunakan wahana internet dan melaksanakan kegiatan jurnalistik, serta memenuhi persyaratan Undang-Undang Pers dan Standar Perusahaan Pers yang ditetapkan Dewan Pers.
b. Isi Buatan Pengguna (User Generated Content) adalah segala isi yang dibuat dan atau dipublikasikan oleh pengguna media siber, antara lain, artikel, gambar, komentar, suara, video dan berbagai bentuk unggahan yang melekat pada media siber, seperti blog, forum, komentar pembaca atau pemirsa, dan bentuk lain.

2. Verifikasi dan keberimbangan berita
a. Pada prinsipnya setiap berita harus melalui verifikasi.
b. Berita yang dapat merugikan pihak lain memerlukan verifikasi pada berita yang sama untuk memenuhi prinsip akurasi dan keberimbangan.
c. Ketentuan dalam butir (a) di atas dikecualikan, dengan syarat:
1) Berita benar-benar mengandung kepentingan publik yang bersifat mendesak;
2) Sumber berita yang pertama adalah sumber yang jelas disebutkan identitasnya, kredibel dan kompeten;
3) Subyek berita yang harus dikonfirmasi tidak diketahui keberadaannya dan atau tidak dapat diwawancarai;
4) Media memberikan penjelasan kepada pembaca bahwa berita tersebut masih memerlukan verifikasi lebih lanjut yang diupayakan dalam waktu secepatnya. Penjelasan dimuat pada bagian akhir dari berita yang sama, di dalam kurung dan menggunakan huruf miring.
d. Setelah memuat berita sesuai dengan butir (c), media wajib meneruskan upaya verifikasi, dan setelah verifikasi didapatkan, hasil verifikasi dicantumkan pada berita pemutakhiran (update) dengan tautan pada berita yang belum terverifikasi.

3. Isi Buatan Pengguna (User Generated Content)
a. Media siber wajib mencantumkan syarat dan ketentuan mengenai Isi Buatan Pengguna yang tidak bertentangan dengan Undang-Undang No. 40 tahun 1999 tentang Pers dan Kode Etik Jurnalistik, yang ditempatkan secara terang dan jelas.
b. Media siber mewajibkan setiap pengguna untuk melakukan registrasi keanggotaan dan melakukan proses log-in terlebih dahulu untuk dapat mempublikasikan semua bentuk Isi Buatan Pengguna. Ketentuan mengenai log-in akan diatur lebih lanjut.
c. Dalam registrasi tersebut, media siber mewajibkan pengguna memberi persetujuan tertulis bahwa Isi Buatan Pengguna yang dipublikasikan:
1) Tidak memuat isi bohong, fitnah, sadis dan cabul;
2) Tidak memuat isi yang mengandung prasangka dan kebencian terkait dengan suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA), serta menganjurkan tindakan kekerasan;
3) Tidak memuat isi diskriminatif atas dasar perbedaan jenis kelamin dan bahasa, serta tidak merendahkan martabat orang lemah, miskin, sakit, cacat jiwa, atau cacat jasmani.
d. Media siber memiliki kewenangan mutlak untuk mengedit atau menghapus Isi Buatan Pengguna yang bertentangan dengan butir (c).
e. Media siber wajib menyediakan mekanisme pengaduan Isi Buatan Pengguna yang dinilai melanggar ketentuan pada butir (c). Mekanisme tersebut harus disediakan di tempat yang dengan mudah dapat diakses pengguna.
f. Media siber wajib menyunting, menghapus, dan melakukan tindakan koreksi setiap Isi Buatan Pengguna yang dilaporkan dan melanggar ketentuan butir (c), sesegera mungkin secara proporsional selambat-lambatnya 2 x 24 jam setelah pengaduan diterima.
g. Media siber yang telah memenuhi ketentuan pada butir (a), (b), (c), dan (f) tidak dibebani tanggung jawab atas masalah yang ditimbulkan akibat pemuatan isi yang melanggar ketentuan pada butir (c).
h. Media siber bertanggung jawab atas Isi Buatan Pengguna yang dilaporkan bila tidak mengambil tindakan koreksi setelah batas waktu sebagaimana tersebut pada butir (f).

4. Ralat, Koreksi, dan Hak Jawab
a. Ralat, koreksi, dan hak jawab mengacu pada Undang-Undang Pers, Kode Etik Jurnalistik, dan Pedoman Hak Jawab yang ditetapkan Dewan Pers.
b. Ralat, koreksi dan atau hak jawab wajib ditautkan pada berita yang diralat, dikoreksi atau yang diberi hak jawab.
c. Di setiap berita ralat, koreksi, dan hak jawab wajib dicantumkan waktu pemuatan ralat, koreksi, dan atau hak jawab tersebut.
d. Bila suatu berita media siber tertentu disebarluaskan media siber lain, maka:
1) Tanggung jawab media siber pembuat berita terbatas pada berita yang dipublikasikan di media siber tersebut atau media siber yang berada di bawah otoritas teknisnya;
2) Koreksi berita yang dilakukan oleh sebuah media siber, juga harus dilakukan oleh media siber lain yang mengutip berita dari media siber yang dikoreksi itu;
3) Media yang menyebarluaskan berita dari sebuah media siber dan tidak melakukan koreksi atas berita sesuai yang dilakukan oleh media siber pemilik dan atau pembuat berita tersebut, bertanggung jawab penuh atas semua akibat hukum dari berita yang tidak dikoreksinya itu.
e. Sesuai dengan Undang-Undang Pers, media siber yang tidak melayani hak jawab dapat dijatuhi sanksi hukum pidana denda paling banyak Rp500.000.000 (Lima ratus juta rupiah).

5. Pencabutan Berita
a. Berita yang sudah dipublikasikan tidak dapat dicabut karena alasan penyensoran dari pihak luar redaksi, kecuali terkait masalah SARA, kesusilaan, masa depan anak, pengalaman traumatik korban atau berdasarkan pertimbangan khusus lain yang ditetapkan Dewan Pers.
b. Media siber lain wajib mengikuti pencabutan kutipan berita dari media asal yang telah dicabut.
c. Pencabutan berita wajib disertai dengan alasan pencabutan dan diumumkan kepada publik.

6. Iklan
a. Media siber wajib membedakan dengan tegas antara produk berita dan iklan.
b. Setiap berita/artikel/isi yang merupakan iklan dan atau isi berbayar wajib mencantumkan keterangan ”advertorial”, ”iklan”, ”ads”, ”sponsored”, atau kata lain yang menjelaskan bahwa berita/artikel/isi tersebut adalah iklan.

7. Hak Cipta
Media siber wajib menghormati hak cipta sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku.

8. Pencantuman Pedoman
Media siber wajib mencantumkan Pedoman Pemberitaan Media Siber ini di medianya secara terang dan jelas.

9. Sengketa
Penilaian akhir atas sengketa mengenai pelaksanaan Pedoman Pemberitaan Media Siber ini diselesaikan oleh Dewan Pers. (w.suratman)

Minggu, 19 Februari 2012

Suarakan Impianmu


Sahabat anak menyerukan kesadaran masyarakat atas hak marjinal Indonesia untuk mengeluarkan pendapat dalam peringatan Hari Sahabat Anak 2012 dengan tema “Suarakan Impianmu”.

Kegiatan ini menjadi semangat Gerakan Sahabat Anak selama tahun 2012 yang dimulai dari Hari Sahabat Anak pada 17 Februari 2012 hingga puncaknya pada Jambore Sahabat Anak 2012 yang akan diadakan pada Juli 2012.

“Ditengah riuh rendahnya opini dari pemerintah, masyarakat, pemerhati, dan praktisi pendidikan tentang pentingnya perbaikan kesejahteraan bagi anak-anak marjinal, apakah ada yang mendengarkan suara dari anak-anak itu sendiri ?, tanya Minggu Tamba, Koordinator Harti Sahabat Anak 2012. “Hak untuk mengeluarkan pendapat merupakan salah satu hak yang sering kali terlewatkan karena mereka dianggap masih kecil dan karenannya tidak tahu apa-apa. Berangkat dari kepribadian ini Sahabat Anak mengajak masyarakat untuk mendengarkan suara-suara kecil ini.”

Kampanye Hari Sahabat Anak 2012 merupakan kegiatan tahunan yang dilakukan oleh Sahabat Anak sejak tahun 2008 untuk meningkatkan perhatian masyarakat terhadap 10 hak-hak sesuai dengan Konvensi Hak Anak PBB tahun 1989.

Selama kampanye tersebut berlangsung, Sahabat Anak akan melakukan roadshow yang didukung oleh PT.Asuransi Aviva Indonesia ke berbagai wilayah Jabodetabek untuk mensosialisasikan hak-hak anak untuk mengeluarkan pendapat serta memberi mereka kesempatan untuk melontarkan uneg-uneg tentang sosok/guru/pengajar yang menjadi panutan mereka dengan membuat video sederhana yang ditargetkan akan melibatkan 1.000 anak dari 25 area di wilayah Jakarta, Bogor, Depok dan Tangerang.

Partisipasi publik diakomodir melalui peran para pendamding anak dalam roadshow tersebut. Jalannya acara juga dapat diikuti oleh masyarakat yang tidak bisa hadir melalui audio streaming di www.sahabatanak.com.

“Intisari dari vidio yang telah dibuat oleh anak-anak tersebut akan direkomendasikan kepada berbagai elemen masyarakat, termasuk pemerintah, media, tokoh pendidikan, institusi pendidikan dan lembaga-lembaga terkait. Perubahan terjadi ketika kita mau meluangkan waktu untuk suara anak-anak,” kata Minggu.

Sementara itu Asuransi Aviva Indonesia mendukung penuh kegiatan Sahabat Anak,karena kepedulian yang besar terhadap anak-anak Indonesia terutama anak marjinal yang seringkali kehilangan kesempatan untuk memiliki impian dan masa depan. Kegiatan ini merupakan bagian dari program Corporate Social responbility Aviva Global yang sudah dilaksanakan dibeberapa negara dalam program Street To School yang memfokuskan pada pemberdayaan anak-anak jalanan. “Kami berharap konstribusi ini dapat memberi jalan bagi anak-anak jalanan dan anak marjinal sehingga mereka berani bermimpi untuk memiliki masa depan yang lebih baik,”tutur Meyliana Kwan,CSR Manager Asuaransi Aviva Indonesia.

Tentang Sahabat Anak

Komunitas Sahabat Anak (SA) merupakan sekelompok sukarelawan yang mendukung gerakan pendampingan anak jalanan di daeraj DKI Jakarta dan sekitarnya. Saat ini SA memiliki 8 (delapan) Bimbingan Belajar di daerah Prumpung, Grogol, Cijantung, Gambir, Manggarai, tanah Abang, Mangga Dua dan Kota Tua. Sahabat Anak mendukung kampanye “Stop Beri Uang, Jadilah Sahabat Anak.”.

Gerakan yang dirintis sejak tahun 1997 tersebut dimulai oleh sekelompok pemuda yang menjalin persahabatan dengan anak-anak kaum marjinal melalui acara tahunan Jambore Anak Jalanan (sekarang dikenal sebagai Jambore Sahabat Anak). Selama lebih dari 10 tahun keberadaannya, selain Bimbingan Belajar, Pusat Kegiatan Anak/PKA (sekolah nonformal bagi remaja jalanan putus sekolah), TK/PAUD anak jalanan di Grogol, dan Rumah Singgah di area Pasar Rebo. Sahabat Anak juga memberi bantuan beasiswa bagi lebih dari 100 anak jalanan. Komunitas ini juga secara rutin melakukan pemutaran film, mengadakan taman bacaan, pembagian makanan/minuman bergizi serta pengobatan gratis. Saat ini Sahabat Anak mulai merintis kegiatan advokasi dan pemberdayaan ekonomi bagi anak-anak binaannya.

Perlu dicatat bahwa asset terbesar Sahabat Anak adalah para sukarelawan yang memiliki semangat volunterisme luar biasa. Mereka terdiri dari mahasiswa, alumni, pemuda, kaum professional hinga ibu rumah tangga yang tidak jarang merogoh kantung pribadi untuk keperluan adik-adik binaannya. Kepedulian mereka, didasarkan oleh kasih dan terutama pengakuan bahwa anak-anak ini sama seperti anak normal lainnya, yang memiliki hak untuk hidup lebih baik dan kesetaraan dalam berbagai kesempatan, terlebih, karena mereka berharga. * (ratman aspari)

Sabtu, 10 Desember 2011

RESOLUSI KONGRES Aliansi Jurnalis Independen (AJI) “Meskipun Melelahkan, AJI Menolak Tunduk”

Kongres Aliansi Jurnalis Independen (AJI) ke-8 di Makassar, 1-3 Desember 2011, telah menetapkan Eko Maryadi (Item) sebagai Ketua AJI dan Suwarjono (Jono) sebagai Sekjen AJI, periode 2011-2014. Pada hari HAM Sedunia 10 Desember 2011, AJI mengeluarkan 15 poin resolusi hasil dari Kongres AJI terbaru.

RESOLUSI

Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia memandang perjuangan kebebasan dan kesejahteraan pers merupakan perjuangan yang paling melelahkan di antara berbagai perjuangan untuk mengatasi berbagai persoalan pers di Indonesia selama 13 tahun terakhir.

Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers (UU Pers) seharusnya menjadi tolok ukur pertama aturan hukum yang berkaitan dengan upaya merawat kebebasan pers. Namun dalam praktiknya UU ini belum menjadi satu-satunya produk hukum yang menentukan dinamika kehidupan pers pada pasca reformasi.

Ancaman Undang Undang hingga kekerasan jurnalis

Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), misalnya, terdapat sekitar 20 pasal yang mengatur ketentuan hukum tentang kerahasiaan, rahasia jabatan, rahasia pertahanan negara, dan rahasia dagang. Dalam UU Perbankan, UU Rahasia Dagang, UU Kearsipan, UU Keterbukaan Informasi Publik (KIP), serta UU Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) secara umum juga memberlakukan larangan penyebarluasan berbagai informasi rahasia kepada publik.

AJI melihat begitu banyak upaya yang secara disadari dan disengaja maupun tidak ingin menggerogoti UU Pers. Gejalanya terlihat pada berbagai pihak yang bermasalah dengan pers --pejabat, pengusaha hitam, pelaku pelanggaran HAM, preman, atau pengacara-- tak segan-segan menggunakan aksi kekerasan atau premanisme yang ditujukan terhadap jurnalis, sebagaimana terjadi pada kasus pembunuhan jurnalis di Bali (Denpasar), di Maluku (Tual), di Papua dan berbagai daerah lain di Indonesia.

Situasi menjadi semakin problematis manakala para penegak hukum juga mengabaikan UU Pers sebagai pedoman penyelesaian sengketa pemberitaan media massa meskipun Mahkamah Agung (MA) sudah berkomitmen bahwa para hakim harus merujuk UU Pers dalam memutuskan perkara pemberitaan pers.

Selain kebebasan pers, AJI juga memandang bahwa kebebasan berekspresi juga semakin terancam selama beberapa tahun terakhir. Ancaman-ancaman yang muncul berupa sensor dan tekanan melalui berbagai cara, di antaranya melalui aturan hukum yang mulai diterapkan oleh aparat hukum, terutama menyangkut kasus yang dianggap sebagai pencemaran nama baik dalam karya jurnalistik maupun citizen journalism.

AJI berkewajiban untuk menyerukan agar penyelenggara negara memberikan perlindungan bagi masyarakat dan menjamin berjalannya praktik kebebasan berekspresi. AJI akan tetap mengkampayekan dan menyerukan agar masyarakat menghormati dan menghargai kebebasan berekspresi dengan tidak menggunakan cara-cara kekerasan dalam menyikapi berbagai perbedaan pendapat.

Tegakkan independensi media dan jurnalis

Tahun 2014 merupakan tahun politik karena berlangsungnya pemilihan umum (pemilu) untuk memilih presiden dan wakil rakyat. Sebagaimana pemilu-pemilu sebelumnya banyak pihak yang mencoba mempengaruhi dan menguasai media untuk kepentingan Pemilu 2014. Fenomena seperti itu muncul di layar televisi yang dimiliki tokoh politik sekaligus pemilik media. Aroma intervensi kepentingan politik bukan hanya terjadi di ranah frekuensi public dan media cetak, melainkan juga mulai merambah ke media online.

AJI menyerukan agar media massa, terutama jurnalis tidak menjadi alat kepentingan politik tertentu. Sesuai khittahnya, media massa harus menjaga independensi dan profesionalismenya dalam memberitakan proses politik dengan merujuk pada UU Pers dan Kode Etik Jurnalistik. AJI mengingatkan pemilik media agar menghormati prinsip-prinsip independensi media dan profesionalisme jurnalis.

Sementara itu, untuk mendorong peningkatan kapasitas anggota, AJI siap memberikan pelatihan dan sertifikasi jurnalis yang dilakukan oleh perusahaan maupun AJI secara gratis. AJI mendorong adanya kompetensi perusahaan media sebagai salah satu cara untuk mendorong perusaaan media yang sehat.

Soal monopoli dan konglomerasi media

AJI juga mencemaskan gejala konglomerasi dan monopoli kepemilikan media yang berafiliasi dengan kepentingan politik di tengah makin berkembangnya industri media. AJI dengan sadar memilih posisi tegas untuk meminta pemilik media atau pemilik modal agar tidak melakukan intervensi ke ruang redaksi.

Sementara kepada Pemerintah, AJI mengimbau agar setiap aparatus pemerintah menjalankan semua regulasi yang berkaitan dengan perusahaan media. Tujuannya tidak lain agar tidak terjadi praktik monopoli dalam pemilikan media yang berimplikasi pada terjadinya monopoli informasi dan pemberitaan, terutama dalam hal penggunaan frekuensi publik.

Tolak APBN/APBD bagi wartawan

AJI melihat fakta tentang masih banyaknya lembaga pemerintahan pusat maupun pemerintah daerah (pemda) mengalokasikan dana Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) untuk pembinaan wartawan atau organisasi pers. Sejak dulu AJI menentang praktik semacam itu, karena hal itu akan mempengaruhi independensi jurnalis di hadapan birokrasi.

Karena itu AJI meminta (aparatus) pemerintah daerah di Indonesia agar mengalokasikan dana-dana negara seperti APBN/APBD hanya untuk kepentingan public yang lebih luas. Imbauan ini perlu ditegaskan untuk menjaga kebebasan pers yang bermartabat dan independensi jurnalis pada saat bersamaan. AJI meyakini bahwa media yang bebas dan independen akan membawa manfaat yang besar untuk mengawal proses demokrasi bersama-sama lembaga negara yang peduli terhadap pentingnya merawat kebebasan informasi.

Tanpa bermaksud jumawa AJI merasa perlu berada di baris terdepan untuk mendorong pemerintah dalam membuka akses informasi seluas-luasnya kepada pers, dalam perkara yang berkaitan dengan kepentingan publik dalam rangka menegakkan good governance dan menghormati profesionalisme jurnalis.

Pembelaan bagi freelancer, kontributor, dan koresponden

Munculnya media massa baru, baik cetak, televisi, radio maupun siber, baik yang bersakala nasional maupun lokal patut diapresiasi. Namun pada sisi lain AJI masih menemukan gejala yang tidak sehat kaerna derasnya pertambahan jumlah media tidak diimbangi oleh semakin banyaknya perusahaan media yang memberikan kesejahteraan atau upah yang layak kepada para pekerjaanya, terutama para jurnalis yang berstatus karyawan tetap maupun jurnalis yang berstatus koresponden, kontributor, stringer dan freelancer.

Terhadap persoalan ini AJI meminta pemilik media untuk tidak mempekerjakan jurnalis tanpa status yang jelas. Sedangkan kepada kalangan koresponden/ freelancer AJI meminta untuk tidak mempekerjakan stringer atau orang lain yang melakukan kerja jurnalistik, apalagi mereka bukan jurnalis. AJI juga meminta perusahaan media untuk tidak bersikap tutup mata terhadap adanya praktik yang tidak manusiawi ini.

Berkenaan dengan kondisi buruk yang dialami jurnalis yang berstatus tidak tetap itu AJI merasa perlu mendorong agar para pemilik atau pengusaha media segara memberikan kesejahteraan yang layak kepada para jurnalisnya dengan memperhatikan kebutuhan upah layak. Karena, kesejahteraan jurnalis akan berimplikasi pada hasil karya mereka dan berkaitan erat dengan profesionalisme dan independensi pers.

Dalam mendesain program penguatan kesejahteraan koresponden atau freelencer AJI merasa perlu berada di garda terdepan dalam mengkampanyekan basic salary kepada perusahaan media. AJI mengusulkan agar jurnalis memperoleh upah paling tidak 50 persen di atas nilai upah minimum provinsi selain harga nilai berita yang ditentukan secara proposional atau sesuai dengan Undang undang Ketenagakerjaan. Dalam hal ini AJI Kota di seluruh Indonesia diwajibkan bersikap aktif dalam perumusan upah di dewan pengupahan.

AJI juga merasa perlu berada pada barisan terdepan dalam melakukan desakan kepada perusahaan media untuk memberikan asuransi dasar serta kontrak kerja yang saling menguntungkan antara koresponden dan perusahaan media.

Sementara itu berkaitan dengan masalah konflik dan kekerasan yang kembali menghangat di Papua juga di daerah lain yang kerap dilanda konflik, AJI merasa perlu menyampaikan pernyataan sikap.

  1. Mendesak semua pejabat, tokoh publik, pengusaha, kalangan profesional dan praktisi serta masyarakat luas untuk ikut menjaga dan menjamin berjalannya kebebasan pers dengan tidak mengedepankan aksi kekerasan atau premanisme terhadap jurnalis dan lembaga media massa dalam memberikan respon terhadap pemberitaan media massa.
  2. Mendesak agar para penegak hukum segera menggunakan UU Pers sebagai pedoman penyelesaian sengketa pemberitaan media dan mematuhi seruan Mahkamah Agung (MA) agar para hakim merujuk UU Perds dalam memutusakan perkara pemberitaan pers.
  3. Mendesak Pemerintah di tingkat pusat dan daerah untuk menjamin berjalannya praktik kebebasan berekspresi sekaligus segera menghentikan berbagai aksi yang mengancam kebebasan berekspresi berupa sensor dan berbagai tekanan melalui aturan hukum yang diterapkan oleh aparat hukum, terutama menyangkut kasus yang dianggap sebagai pencemaran nama dalam karya jurnalistik dan citizen journalism.
  4. Menyerukan agar penyelenggara negara memberikan perlindungan bagi masyarakat dan menjamin berjalannya praktik kebebasan berekspresi dengan ikut mengkampayekan dan menyerukan kepada masyarakat untuk menghormati dan menghargai kebebasan berekspresi dengan tidak menggunakan cara-cara kekerasan dalam menyikapi perbedaan pendapat.
  5. Menyerukan agar menjelang Pemilihan Umum Tahun 2014, alih-alih menjadi alat kepentingan politik tertentu, jurnalis beserta perusahaan dan pemilik media untuk selalu menjaga independensi dan profesionalme pers dalam memberitakan proses politik dengan merujuk kepada UU Pers dan Kode Etik Jurnalistik.
  6. Mendorong AJI Kota untuk meningkatkan kapasitas anggotanya, dengan memberikan pelatihan dan sertifikasi jurnalis yang dilakukan secara gratis baik oleh perusahaan maupun AJI.
  7. Mendorong adanya kompetensi perusahaan media sebagai salah satu cara mendorong hadirnya perusahaan media yang sehat.
  8. Terhadap gejala konglomerasi dan monopoli kepemilikan media yang berafiliasi dengan kepentingan politik di tengah makin berkembangnya industri media AJI meminta dengan tegas kepada pemilik media atau pemilik modal agar tidak melakukan intervensi ke ruang redaksi.
  9. Mengimbau setiap aparatus pemerintah untuk mematuhi dan menjalankan semua regulasi yang berkaitan dengan perusahaan media agar tidak terjadi praktik monopoli dalam pemilikan media yang berimplikasi pada terjadinya monopoli informasi dan pemberitaan, terutama dalam hal penggunaan frekuensi publik.
  10. Mendesak pemerintah pusat dan daerah untuk tidak mengalokasikan dana Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) dan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBD) untuk pembinaan jurnalis atau organisasi pers karena praktik semacam itu akan mempengaruhi independensi jurnalis di hadapan birokrasi. Mengimbau semua (aparatus) pemerintah agar mengalokasikan dana-dana APBN dan APBD untuk kepentingan yang jauh lebih bermanfaat bagi kepentingan publik.
  11. Mendorong pemerintah untuk membuka akses informasi seluas-luasnya kepada pers, terkait perkara yang berkaitan dengan kepentingan publik dalam rangka menegakkan good governance dan menghormati profesionalisme jurnalis.
  12. Meminta pemilik atau perusahaan media untuk tidak mempekerjakan jurnalis tanpa status yang jelas dan tidak bersikap tutup mata terhadap praktik yang tidak manusiawi terhadap pekerja media seperti mempekerjakan orang untuk melakukan kerja jurnalistik tanpa status yang jelas dan upah yang layak. Pemilik atau pengusaha media harus segera memberikan kesejahteraan yang layak kepada para jurnalisnya karena kesejahteraan jurnalis akan berimplikasi pada hasil karya mereka dan berkaitan erat dengan profesionalisme dan independensi pers.
  13. Mendorong AJI Kota untuk terus mengampanyekan basic salary kepada perusahaan media agar jurnalis memperoleh upah paling tidak 50 persen di atas nilai upah minimum provinsi selain harga nilai berita yang ditentukan secara proposional sesuai dengan UU Ketenagakerjaan sekaligus melakukan desakan agar perusahaan media memberikan asuransi dasar serta kontrak kerja yang saling menguntungkan.
  14. Mendesak negara menghentikan segala bentuk kekerasan di Papua, termasuk kekerasan terhadap jurnalis di Papua dan di luar Papua yang melakukan peliputan di bumi Papua, sekaligus mendesak pemerintah untuk membuka akses informasi seluas-luasnya bagi setiap jurnalis yang melakukan peliputan di Papua; menjamin kebebasan pers; dan mengusut serta mengadili pelaku kekerasan terhadap jurnalis di Papua.
  15. Menjadikan Deklarasi Sirnagalih sebagai roh AJI dalam memperjuangkan independensi, profesionalisme dan kesejahteraan jurnalis.

Makassar, 3 Desember 2011

Ketua Komisi: Ruslan Sangadji/alwan ridha ramdani

Sekretaris Komisi: Abdi Purnomo