by
Bambang Soesatyo
Anggota Komisi III DPR RI
bambangsoesatyo@yahoo.com
NENENG Sri Wahyuni sudah kembali. Kini, waktunya
mempercepat penyelesaian kasus-kasus korupsi yang melibatkan para tokoh penting
maupun rekan-rekan mereka yang namanya sudah disebut-sebut selama ini.
Lagi-lagi, KPK dituntut memberi bukti bahwa pisau hukum Indonesia masih tajam.
Sebagai negeri hukum, bangsa ini telah
dibuat malu karena sistem hukumnya gagal menuntaskan kasus-kasus korupsi skala
besar yang nyata-nyata melukai rasa keadilan rakyat. Sejumlah kasus korupsi
yang melibatkan oknum di seputar lingkar dalam pusat kekuasaan selalu gagal
dituntaskan. Publik akan menjadikan contoh kasus Bank Century dan kasus mafia
pajak sebagai bukti kegagalan sistem hukum.
Bukanlah mengada-ada jika kegagalan sistem
hukum menuntaskan dua contoh kasus tadi masih melukai rasa keadilan rakyat.
Rakyat pun paham bahwa ada upaya membodoh-bodohi khalayak dengan berbagai
argumentasi tentang teori dan sistem hukum. Namun, rakyat curiga bahwa
oknum-oknum di pusat kekuasaan bisa dibuat imun di hadapan sistem hukum berkat
tekanan politik, memanipulasi dan merekayasa konstruksi kasus, sampai dengan
barter atau sandera menyandera.
Saat ini, ketajaman pisau hukum Indonesia
sedang dan terus diuji oleh kasus suap dalam proyek Wisma Atlet di Palembang
dan poyek fasilitas olahraga Hambalang di Bogor. Keterlibatan oknum-oknum di
lingkar dalam pusat kekuasaan pada dua kasus ini justru diungkap oleh
Nazaruddin sendiri. Nama ini bukan sosok sembarangan. Sebab, dia sesungguhnya
berasal dari lingkar dalam pusat kekuataan itu sendiri. Jadi, soal akurasi
informasi Nazaruddin jangan buru-buru dimentahkan. Apalagi, dia lantang merinci
angka-angka dan aliran dana.Sosok lain yang selama ini diduga juga punya
catatan detil tentang pihak-pihak yang terlibat, aliran dana serta rincian
angka-angkanya adalah Neneng Sri Wahyuni, istri Nazaruddin. Sebab, Neneng juga
menjabat Direktur Keuangan Grup Permai. Setelah sekian lama bersembunyi di
negeri orang, Neneng akhirnya memutuskan pulang untuk menjalani proses hukum.
Wanita ini sudah ditetapkan sebagai tersangka kasus korupsi proyek PLTS,
Kemennakertrans. Tahun 2008, Neneng diduga berperan sebagai perantara proyek
PLTS senilai Rp 8,9 miliar itu. KPK mencatat kerugian negara sebesar Rp 3,8
miliar dalam proyek itu. Nazaruddin juga menyebut rekan-rekannya terlibat dalam
kasus ini. Sudah berbulan-bulan kasus ini menjadi perhatian seluruh rakyat
Indonesia. Maka, pertanyaannya, setelah Neneng pulang kampung, apa yang akan
dan bisa dilakukan KPK? Jelas, hanya KPK yang paling tahu. Tetapi, rakyat
berharap KPK tidak membuang-buang waktu lagi. Jangan lagi terperangkap dalam
debat kusir yang tidak produktif. Sudah pasti akan ada upaya intervensi. Kita
berharap Abraham Samad Dkk berani menangkal intervensi itu.Sebagai Direktur
Keuangan Grup Permai, bisa dipastikan Neneng paling tahu dan memiliki catatan
yang sangat lengkap tentang aliran dana serta besarannya. Selama ini, sudah
beredar informasi bahwa sebagian dana diterima oleh oknum-oknum berada di
lingkar dalam pusat kekuasaan. Dari asumsi ini, tak ada salahnya jika KPK
menawarkan kepada Neneng untuk menjadi justice collaborator.
Kepulangan Neneng harus dimanfaatkan KPK
untuk mempercepat penanganan kasus Wisma Atlet dan kasus Hambalang. Masyarakat
sudah mengerti dengan sendirinya bahwa kedua kasus itu tidak boleh berhenti
pada Nazaruddin, Neneng, Angelina sondakh atau Mindo Rosalina. Ada oknum
penguasa di belakang mereka semua. KPK harus mau dan berani mengungkap
keterlibatan serta peran mereka pada kedua kasus itu.
Oleh karena kedua kasus itu melibatkan
oknum-oknum di lingkar dalam pusat kekuasaan, keberanian dan keberhasilan KPK
menuntaskan dua kasus ini akan menumbuhkan efek jera yang luar biasa. Kekuasaan
berikutnya tentu akan berpikir seribu kali untuk memanipulasi anggaran
pembangunan.
Kejahatan Luar Biasa KPK seyogyanya memberi perhatian ekstra
pada kasus penganggaran proyek Hambalang. Proses penganggaran proyek Hambalang
yang penuh misteri adalah skandal bernuansa kejahatan kerah putih. Sangat
memprihatinkan karena skandal baru ini lagi-lagi dilakukan oleh para pembantu
Presiden Soesilo Bambang Yudhoyono (SBY). Presiden seharusnya merasa dipermalukan
oleh skandal ini. Sebab, kabinetnya layak dinilai amatiran. Soalnya, jika ada
kementerian yang berani merealisasikan sebuah proyek tanpa mengikuti mekanisme
penganggaran yang benar -- sebagaimana diatur oleh undang-undang (UU) -- berarti
menteri bersangkutan terang-terangan melanggar undang-undang.
Pertanyaannya adalah Apa motif si menteri?
Idealnya, presiden memerintahkan penegak hukum untuk menyelidiki skandal ini.
Ini persoalan serius karena menyangkut kredibilitas kabinet dan pertanggungjawaban
atas penggunaan keuangan negara. Faktanya, beberapa anggota Komisi X DPR yang
berkaitan dengan masalah proyek Hambalang tidak memiliki informasi yang cukup,
tidak tahu proses perencanaan dan penganggaran, termasuk penetapan proyek ini
sebagai program multi years. Banggar DPR pun tidak pernah membicarakan dan
menyetujui anggaran proyek Hambalang. Penganggaran proyek ini berbau kejahatan
kerah putih karena terungkap bahwa tidak semua anggota Komisi X DPR ikut
membahas anggaran proyek itu. Hanya sebagian anggota Komisi X DPR yang mendapat
rincian data anggaran proyek Hambalang.
Berarti, mekanisme penganggarannya tidak
transparan. Maka, pertanyaannya adalah apa yang harus ditutup-tutupi saat
membahas anggaran proyek Hambalang?
Karena itu, Presiden SBY. Ketua DPR Marzuki
Alie serta para wakil Ketua DPR, harus merespons misteri penganggaran proyek
Hambalang. Sudah ada indikasi terjadinya penyimpangan mekanisme dan pelanggaran
UU dalam Proses penganggaran proyek ini
Masalahnya menjadi sangat serius, karena
kejahatan ini diduga melibatkan para pejabat tinggi pada tingkat kementerian.
Itu sebabnya, Presiden, Ketua DPR dan para wakil Ketua DPR tidak boleh
minimalis menyikapi kasus ini. Indikasi permasalahan yang berkait dengan
wewenang pimpinan DPR adalah pengakuan bahwa Komisi X DPR tidak mengetahui dan
tidak pernah membahas pembengkakan anggaran sampai Rp 1,2 triliun. Ada juga
pengakuan lain yang menyebutkan Komisi X DPR memang membahas pengganggaran
proyek Hambalang, tetapi tidak semua anggota komisi dilibatkan. Berarti,
mekanisme dan etika kerja Komisi X DPR sudah berjalan tidak fair, karena ada
yang ingin ditutup-tutupi.Kesimpangansiuran tentang fungsi dan peran Komisi X
DPR dalam kasus ini saja sudah menggambarkan adanya masalah besar dan prinsipiil.
Karena itu, pimpinan DPR tidak bisa hanya menunggu, melainkan harus pro aktif.
Minimal, pimpinan DPR bisa membentuk satuan tugas internal untuk menyelidiki
masalah ini. Sikap pro aktif dan temuan-temuan pimpinan DPR setidaknya dapat
membantu kelancaran penyelidikan KPK.Demikian pula dengan Presiden SBY. Tentu
saja Presiden harus menjadikannya sebuah persoalan yang serius jika ada
kementerian berani merealisasikan sebuah proyek tanpa mengikuti mekanisme
penganggaran proyek yang benar, sebagaimana diatur oleh undang-undang (UU).
Berarti menteri bersangkutan terang-terangan melanggar UU. Menteri itu pembantu
presiden. Kalau ada menteri yang melanggar UU, presiden tidak bisa begitu saja
cuci tangan. Apalagi menuding partai lain lebih korup.
Maka, mengingat realisasi proyek hambalang
melibatkan wewenang beberapa menteri, respons presiden atas kasus ini idealnya
ditunjukan dengan memanggil dan meminta keterangan dari para menteri itu.
Misalnya, dari Menpora dan Menteri Keuangan, Presiden bisa meminta penjelasan
mengenai proses penganggaran Proyek Hambalang.
Dan, kalau benar Komisi X DPR tidak tahu
atau belum menyetujui besaran anggaran proyek itu, Presiden tentunya harus
mempertanyakan apa yang sesungguhnya sudah terjadi dalam proses penganggaran
proyek Hambalang. Keterangan yang didapat presiden pun dapat membantu KPK
menyelidiki kasus ini.
Bagaimana pun, misteri penganggaran proyek
Hambalang memperburuk citra DPR dan pemerintah. Model kasus seperti
penganggaran Proyek Hambalang yang serba misterius itu belum pernah terjadi
dalam sejarah penganggaran proyek pembangunan di negara kita. Kalau presiden
dan pimpinan DPR minimalis, kredibilitas DPR dan pemerintah bakal hancur karena
rakyat akan menilai semangat mewujudkan good governance tak lebih dari pepesan
kosong.(*)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar