JAKARTa,(PP)
- Indonesia
Resources Studies (IRESS) bekerjasama dengan Tambangnews.com dan anggota Dewan
Perwakilan Daerah (DPD) RI dari Sulawawesi Tengah, Nurmawanti Dewi Bantilan,
SE, mengadakan seminar bertema "Gas Donggi Senoro Untuk Siapa?" pada
jam 1000-1300 WIB, bertempat di Gedung DPD RI Jakarta, Senayan, Jakarta. Yang
bertindak sebagai pembicara seminar adalah Anggota DPD RI Nurmawati Bantilan,
Dr Kurtubi (CPPES), Rikrik Reskiana (Antitrust Lawfirm), Suparman Chandra
(Yamaland) dan Marwan Batubara (IRESS).
Marwan Batubara menguraikan latar belakang penyelenggaraan seminar antara lain
karena adanya masalah alokasi gas, pengadaan kilang, harga gas yang rendah,
pelanggaran hukum menurut KPPU, dll. Terkait aloaksi gas, Menteri ESDM melalui
SK No.4186/2010 bulan Juni 2010, telah menetetapkan 70% untuk ekspor dan hanya
30% untuk domestik. Padahal pada 2009 Wapres Jusuf Kalla, dan disetujui
Presiden SBY, telah menetetapkan gas Donggi Senoro akan dialokasikan 100% untuk
domestik. Marwan mengatakan bahwa dengan kondisi PLN dan industri nasional yang
masih sangat kekurangan gas saat ini dan beberapa tahun ke depan, maka
seandainya pun gas Donggi-Senoro 100% dialokasikan untuk domestik, kebutuhan
tersebut masih tetap kekurangan. Apalagi jika alokasi tersebut hanya 30%.
Dalam hal pengadaan kilang LNG, JK pernah memerintahkan dilakukannya tender
ulang. Hal ini pun tidak digubris. Proyek kilang LNG dengan nilai US$ 2,1
miliar tetap dilanjutkan. Berdasarkan progres hingga saat ini, nilai proyek
bisa saja mencapai USD 4 miliar, dan berpotensi terjadi penggelembungan harga.
Memang dengan pola hulu, pembangunan kilang tidak masuk cost recovery, sehingga
negara mungkin tidak dirugikan secara langsung. Namun jika ini tetap
dilanjutkan dengan potensi kemungkinan terjadinya mark-up, maka Pertamina dan
Medco sebagai perusahaan nasional berpotensi dirugikan oleh Mitsubishi dan
kontraktor asing.
Dalam aspek legal, Kebijakan Pertamina yang memenangkan Mitsubishi Corporation
(MC) dalam Beauty Contest sebagai pengelola proyek Donggi Senoro, dianggap oleh
Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) telah melanggar ketentuan Undang-undang
Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak
Sehat (UU No. 5/1999) dalam proses Tender/Pemilihan Mitra/ Proyek LNG
Donggi-Senoro. Kurtubi, Rikrik Reskiana dan Marwan enuntut agar pelanggaran ini
mendapat sanksi yang tegas.
Dalam hal harga jual, ketetapan harga gas Donggi-Senoro US$ 4,01/mmbtu, hanya
selisih US$ 0,5/mmbtu dibanding harga murah gas Tangguh, perlu dipertanyakan.
Padahal PLN sanggup membeli gas hingga US$ 11/mmbtu. Harga ini tentunya sangat
rendah dan sebagaimana kerugian pada kontrak gas Tangguh, harga murah gas
Donggi-Senoro ini pun berpotensi merugikan negara triliunan Rp. Oleh sebab itu,
Marwan, Kurtubi dan Suparman meminta agar harga gas dinegosiasikan kembali
untuk mencapai harga yang wajar, dan hasilnya dipublikasikan secara transparan.
Suparman Chandra mengingatkan tentang besarnya pengeluaran negara hingga Rp 700
triliun/tahun jika tetap mengkonsumsi BBM seperti saat ini (hingga sekitar 74
juta kl/tahun), tanpa upaya untuk beralih bertahap menggunakan gas. Potensi
penghematan dapat mencapai Rp 400 triliun/tahun jika konsumsi BBM tersebut diganti
dengan gas. Suparman menyatakan bahwa tidak hanya 100% gas Donggi-Senoro,
tetapi justru pemerintah pun harus mencari pasokan gas dari ladang-ladang lain
untuk keperluan pengalihan dari BBM ke gas tersebut.
Nurmawati Dewi Bantilan yang merupakan Anggota DPD RI dari Sulawesi tengah
mengatakan, sejak gas Donggi Senoro di kelola oleh MC, kesejahtaraan masyarakat
terabaikan, CSR yang dikeluarkan MC tidak sebanding dengan kerusakan lingkungan
yang telah diakibatkan oleh pembangunan kilang tersebut. Bahkan menurutnya,
kini masyarakat sudah mulai bergerak untuk melakukan penolakan dengan
menghentikan truk-truk pembangunan kilang, jika hak-hak mereka tidak kunjung
diperhatikan. Nurmawati mengingatkan agar kontraktor memperhatikan kepentingan
rakyat di sekitar tamabang, termasuk untuk memperoleh kesempatan kerja.
Kurtubi mengatakan bahwa kerugian negara dari migas terjadi karena hubungan
Kontrak dengan Perusahaan Migas, yang awalnya menggunakan pola B to B
(Pertamina dengan Perusahaan Migas Asing/Swasta) menjadi pola B to G
(Pemerintah c/q BP Migas dengan Perusahaan Migas Asing/Swasta). Begitupun dalam
Pengembangan LNG Donggi Senoro, menurut Kurtubi pendapatan Pertamina dan negara
menjadi tidak optimal karena justru lapangan gas yang dioperasikan oleh Pertamina
(dan Medco), diserahkan ke Pihak lain (Mitsubishi/PT DSLNG). Dan disini yang
mendapat untung besar adalah Mitsubishi/PT DSLNG.
Menurut Kurtubi, yang juga perlu diklarifikasi adalah, mengapa Pertamina tidak
mau belajar dari pengalamannya sendiri membangun kilang LNG Badak dan Arun dan
telah terbukti dengan sukses tanpa menggunakan dana APBN. Pertamina berhasil
menjual LNG dengan formula harga yang menguntungkan Negara dimana pendapatan
negara dari LNG sangat besar, dan perhasil mengoperasikan LNG Plant selama
lebih dari 30 tahun dengan tanpa ada cacat/kebakaran/bencana.
Selain itu, Beauty contest yang dilakukan Pertamina, menurut Kurtubi juga telah
menimbulkan perseturuan bisnis. Lewat Putusan KPPU No.35/KPPU-I/2010 tanggal 5
Januari 2011 menyatakan bahwa Pertamina-Medco-Mitsubishi telah melanggar Pasal
22 dan 23 UU No.5/1999 dama Proses Tender/Pemilihan Mitra atas Proyek LNG
Donggi Senoro. Hal ini perlu ditindakanjuti secara adil dan memihak kepentingan
nasional.(ratman/pp)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar