Surat Terbuka Remotivi atas Tayangan “Kakek-Kakek
Narsis” di Trans TV
Jakarta, 18 April 2012
Kepada
Yth.
Trans TV
Di
Jakarta
Dengan
hormat,
Remotivi
adalah sebuah inisiatif warga untuk kerja pemantauan tayangan televisi di
Indonesia.
Surat ini
dilayangkan sebagai sikap keberatan kami atas tayangan Kakek-Kakek Narsis
(KKN) yang disiarkan Trans TV setiap Senin-Jumat Pk. 00.00 WIB. Tayangan
ini kami nilai berisi muatan yang melecehkan perempuan dan berpotensi
menebalkan ketimpangan relasi antara laki-laki dengan perempuan. Dengan muatan
macam itu, televisi, sebagai ruang publik tempat di mana permasalah publik
dibicarakan dan disemai, menjadi kontraproduktif dengan upaya penyetaraan perempuan
dengan laki-laki.
Pandangan
atas KKN kami tempatkan dalam kerangka isu subordinasi perempuan, dan
bukan pada wilayah pengaturan ekspresi perempuan atau pun pornografi seperti
yang pernah dipersoalkan Komisi Penyiaran Indonesia (KPI). Di mana pada KKN,
khususnya ada dua hal besar yang kami soal, yakni mengenai “diskriminasi” dan
“kekerasan” terhadap perempuan.
Diskriminasi
terhadap perempuan, menurut pengertian yang dijabarkan dalam Konvensi
Internasional Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan, yang
juga telah disahkan melalui Undang-Undang no. 7 Tahun 1984, adalah:
“setiap pembedaan,
pengabaian, atau pembatasan yang dilakukan atas dasar jenis
kelamin antara laki-laki dan perempuan, yang menyebabkan, mempengaruhi atau
bertujuan mengurangi ataupun meniadakan pengakuan, penikmatan atau penggunaan
hak asasi manusia dan kebebasan-kebebasan pokok di bidang politik, ekonomi,
sosial, budaya, sipil atau apa pun lainnya oleh kaum perempuan terlepas dari
status perkawinan mereka, atas dasar kesetaraan antara laki-laki dan
perempuan.”
Karena
kekerasan terhadap perempuan berakar dari diskriminasi gender, maka sebagaimana
dijelaskan dalam Deklarasi Penghapusan Kekerasan terhadap perempuan, Ps. 1, kekerasan
terhadap perempuan sebaiknya dipahami sebagai:
setiap
perbuatan berdasarkan pembedaan berbasis gender yang berakibat atau mungkin
berakibat kesengsaraan atau penderitaan perempuan secara fisik, seksual atau
psikologis, termasuk ancaman terjadinya perbuatan tersebut, pemaksaan atau
perampasan kebebasan secara sewenang-wenang, baik yang terjadi di ruang publik
maupun di dalam kehidupan pribadi
Dan
sebagai pendasaran, kami sitir UUD 1945 Bab XA tentang Hak Asasi Manusia pada
Pasal 28C ayat (2): Setiap orang berhak untuk
memajukan dirinya dalam memperjuangkan haknya secara kolektif untuk membangun
masyarakat, bangsa, dan negaranya.
Berikut pendapat kami:
1.
Ketidaksetaraan relasi gender
Tayangan KKN
merupakan tayangan yang dibangun dengan konsep relasi gender yang tidak setara.
Meski memberi kesempatan pada banyak perempuan untuk menjadi bintang tamu,
namun pada praktiknya tayangan ini bukan menghadirkan kualitas perempuan, malah
justru menjadi etalase untuk memajang tubuh perempuan. Perempuan dijadikan
sebagai bintang tamu, namun perempuan tidak banyak diberi kesempatan untuk
berbicara. Sebaliknya, tiga pembawa acara yang kesemuanya lelaki menjadi
komentator atas tubuh, hobi, dan aktivitas para perempuan. Sehingga yang
terjadi adalah, perempuan dibicarakan dan lelaki sebagai pembicara. Lelaki
adalah subjek, perempuan adalah objek.
2. Objektivikasi tubuh perempuan
Kegagalan
tayangan ini untuk menghadirkan kualitas perempuan dengan utuh, dan mereduksinya
menjadi sekadar tubuh, berpotensi membangun atau pun menebalkan stereotip
perempuan sebagai objek seksual semata. Ini terlihat dari narasi dan skenario
yang melulu menjurus kepada urusan syahwat laki-laki. Misalnya, adegan ketiga
“kakek” meminta bintang tamu perempuan untuk melepas jas atau blazer yang
dikenakan menjadi pola berulang yang diterapkan pada KKN. Contoh lain,
ketiga “kakek” meminta para perempuan membuka bagian-bagian tubuhnya yang
memiliki tato yang diikuti perilaku dan seruan bernada asosiatif seksual.
3. Stereotip perempuan
Pemosisian
perempuan sebagai objek dalam tayangan ini, pada akhirnya berpotensi membangun
stereotip negatif mengenai perempuan, atau pun menebalkan pandangan keliru yang
sudah ada dalam masyarakat. Pelecehan perempuan di jalanan dengan cara digoda,
misalnya, diteguhkan dalam KKN dengan “mengizinkan” para kakek memainkan
beragam bentuk gestur pelecehan: menyentuh, mengintip, merangkul, memelototi
payudara, dan sebagainya.
4.
Kekerasan verbal
Pilihan
kata dan penggunaan psiko-bahasa dalam tayangan ini kerap kali mengandung
kekerasan terhadap perempuan. Kekerasan verbal luput dari perhatian karena
bersembunyi dalam humor bahkan pujian. Dalam KKN bertebaranlah berbagai
bentuk kekerasan dalam bahasa yang datang dari paradigma yang menempatkan
perempuan sebagai gender kelas dua. Salah satu contohnya adalah, pertanyaan
para kakek yang kerap diajukan kepada bintang tamu perempuan, “Apa kesibukanmu
selain cantik?”. Pertanyaan semacam ini tentu saja datang dari anggapan bahwa
apa yang terpenting dari perempuan hanyalah menjadi cantik. Kegiatan utama
perempuan adalah mempercantik diri, sehingga bila ada perempuan memiliki hobi
di luar berdandan, ia akan menjadi nilai lebih untuk dibicarakan. Logika
tersebut menggiring persepsi bahwa perempuan tak punya pendapat atau aktivitas
lain yang sederajat dengan laki-laki, misalnya intelektualitasnya.
5. Iklan anak
KKN
dengan segala masalahnya tersebut ternyata juga ditonton (atau menyasar) para
penonton anak dan remaja. Ini terjadi ketika KKN masih ditayangkan Pk. 23.00
WIB (sekarang dipindah menjadi Pk. 00.00 WIB). Hal ini dapat diindikasikan
melalui beberapa iklan produk anak yang juga ikut mensponsori acara ini.
Misalnya pada 12 Desember 2012, muncullah iklan produk anak atau yang menyasar
kepada anak: Panadol Anak, Scott Emulsion, dan Walls Buavita.
Mereka
yang bertanggung jawab terhadap penempatan iklan tersebut tentu saja telah
memperhitungkan adanya potensi penonton anak. Bagi kami ini tentu
mengkhawatirkan karena anak-anak akan tumbuh besar dengan kepala mereka yang
penuh oleh cara pandang yang salah terhadap perempuan. Fakta ini harusnya
menjadi perhatian KPI sebagai regulator, untuk melindungi publik anak dari
program yang tidak ramah anak dan perempuan.
6. Pelanggaran HAM berbasis gender
Diskriminasi dan kekerasan terhadap perempuan merupakan
bentuk pelanggaran HAM berbasis gender. Ini tidak sejalan dengan UUD 1945 Pasal
28I ayat (2): Setiap orang berhak bebas dari perlakuan yang bersifat
diskriminatif atas dasar apa pun dan berhak mendapatkan perlindungan terhadap
perlakuan yang bersifat diskriminatif itu.
Selain paparan di atas, salah satu bentuk diskriminasi sangat
jelas ditampakkan melalui keputusan pihak Trans TV dalam memecat salah satu
pemeran tetap perempuan dalam KKN, yakni Nikita Mirzani. Keputusan
ini merupakan buntut dari teguran kedua KPI pada 9 Januari 2012 atas muatan
eksploitasi tubuh Nikita. Seperti diketahui, muatan itu ada karena bagian dari
konsep tayangan. Dengan tidak mengubah konsep, tapi malah memecat Nikita,
artinya Trans TV menempatkan sumber masalah ada pada perempuan.
Sehubungan
dengan sikap keberatan di atas, kami minta dengan hormat agar:
· Menghentikan tayangan KKN
Strategi
Trans TV memindah jam tayang KKN dari yang semula pada Pk. 23.00 WIB
menjadi Pk. 00.00 WIB tidak memecahkan persoalan. Karena persoalan utamanya
bukan semata konten dewasa, melainkan muatan pelecehan perempuan. Tayangan
dewasa bukan berarti diizinkan untuk melecehkan perempuan.
· Optimalisasi KPI
Sesuai Pasal 28I UUD 1945 ayat (4) yang
menuliskan bahwa “perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan hak asasi
manusia adalah tanggung jawab negara, terutama pemerintah”, maka peran KPI
sebagai perwakilan negara menjadi penting untuk disoal. KPI memang sudah dua
kali menegur KKN, tapi yang melulu disinggung adalah mengenai aspek pornografi.
Sedangkan hal yang lebih publik dan asasi, yakni isu pelecehan perempuan, sama
sekali tidak disinggung.
· Sensitif gender
Adanya
sensitivitas Trans TV, juga seluruh stasiun televisi, pada permasalahan gender.
Sensitif gender ini bukan saja kerap ditemui masalahnya pada perempuan, tapi
warga negara lainnya, termasuk kelompok LGBT (lesbian, gay, biseksual, dan
transgender). Terlepas dari apa pun preferensi seksual seseorang, setiap warga
negara berhak untuk diperlakukan setara dan tidak mengalami diskriminasi.
Demikian
Surat Terbuka ini kami sampaikan. Kami berharap agar pihak-pihak yang kami
maksud dalam surat ini dapat segera menanggapinya dengan baik. Semoga ke
depannya, tayangan-tayangan di televisi tidak kontraproduktif terhadap upaya
yang tengah dilakukan berbagai lapisan masyarakat untuk membangun relasi gender
yang lebih adil. Media mesti berperan mempertipis tembok budaya yang mengekang
perempuan dan menyeimbangkan representasi perempuan yang dihadirkannya. Karena,
perempuan bukan untuk dilecehkan di televisi dan di mana pun!
Terima
kasih.
Jakarta, 18 April 2012
Roy Thaniago
Koordinator Remotivi
Tembusan:
- Komisi Penyiaran Indonesia
- Lembaga Sensor Film
- Komnas Perempuan
Ikut
mendukung:
- Inspirasi Indonesia, Jakarta
- Komunitas Sekitarkita, Jakarta
- Aliansi Remaja Independen, Jakarta
- Laki-laki Baru, Jakarta
- Ikatan Gaya Arema (IGAMA), Malang
- Our Voice, Jakarta
- Institute for Ecosoc Rights, Jakarta
- Aliansi Sumut Bersatu, Medan
- Indonesia AIDS Coalition, Jakarta
- LAPPAN, Ambon
- Sapa Institut, Bandung
- Indonesia untuk Kemanusiaan
- Lembaga Studi Pers dan Informasi (LeSPI), Semarang
- Yayasan Pulih, Jakarta
- SPEK HAM, Solo
- Swara Parangpuan, Sulawesi
- Pusat Kajian Media dan Budaya Populer (PKMBP), Yogyakarta
- Pemantau Regulasi dan Regulator Media (PR2Media), Yogyakarta
- Koalisi Perempuan Indonesia Untuk Keadilan dan Demokrasi, Jakarta
- Rumput Tjoet Njak Dien, Yogyakarta
- Lembaga Studi Pers dan Pembangunan, Jakarta
- Lentera Timur, Jakarta
- Yayasan Pupa, Bengkulu
- FOKER, Papua
- Pusat Studi Perempuan dan Gender Universitas Bengkulu
- Nurani Perempuan, Padang
- WCC Mawar Balqis, Cirebon
- LRC-KJHAM, Semarang
Tidak ada komentar:
Posting Komentar