Oleh H. Ilham Bintang (*)
Jakarta (PWI News) - Senin (13/3) pagi pamit ke Anyer, Banten. Esok harinya,
tinggal jasad yang kembali ke Jakarta dan masuk ke rumah. Selasa (14/3) pagi wartawan
senior Masdun Pranoto ditemukan temannya terbujur kaku di atas sajadah di
dalam kamar hotel di Anyer. Laptopnya masih menyala di atas meja kerja saat
ia ditemukan.
Diperkirakan mantan Ketua PWI Jaya itu menghembuskan nafas terakhirnya,
sehabis salat subuh. “Sampai jam satu malam kami masih kontakan lewat sms,”
kata Bunda Ratna, kawan satu majelis taklim dengan almarhum. Dengan menumpang
mobil sahabatnya itu Masdun ke Anyer. Menurut Ratna, kepergian Masdun untuk
mengerjakan editing biografi Hartarto, mantan Menteri Perindustrian di era
Orde Baru.
Innalillahi Wainna Ilaihi Rojiun.
Saya menerima berita duka Masdun
telah tiada, Selasa(14/3) pukul 08.00 pagi, dari sahabatnya Wijoyo Hartono,
mantan wartawan Jawa Pos. Memang jika sudah sampai waktu, tidak siapa pun
bisa mengelakkan kehendakNya. Masdun meninggal dunia dalam usia 71 tahun.
Almarhum meninggalkan seorang istri, enam anak, dan sepuluh cucu.
Januari lalu saya bertemu Masdun Pranoto di rumah duka almarhum Ed Zoelverdi,
mantan redaktur foto Majalah Tempo yang hari itu meninggal dunia. Setelah
melayat kami bersantap siang di resto khas Makassar “Daeng Tata” di Jalan
Casablanca, Jakarta Selatan, dengan Marah Sakti Siregar, serta teman satu
kantor Eko Yuswanto dan Aris Amiris. Lama tidak bertemu, membuat perbincangan
siang itu lebih bersifat nostalgia. Dari cerita semasa satu kantor di Harian
Angkatan Bersenjata (HAB) hingga cerita sewaktu dia resign dan menjadi
pemimpin redaksi Harian Suara Khatulistiwa di Pontianak, Kalimantan Barat.
Masdun ada bercerita sesuatu hal yang tidak saya mengerti maknanya.
Ceritanya, dia pernah meminjam uang pada saya. “Ini sudah lama mengganjal.
Sekarang waktunya saya tanyakan mengenai status pinjaman : apakah itu
pinjaman atau bantuan?”. Demi Tuhan saya tidak ingat. Maka itu saya menjawab
ringan saja. “Saya tidak ingat. Kalau benar adanya, sudah pasti saya
ikhlaskan”. Ia langsung menjabat tangan saya. Kelak, ada teman yang
menghubungkan dengan kepergian almarhum, maka cerita itu dimaknai sebagai
firasat almarhum yang ingin “bersih” dari segala sangkutan sebelum wafat.
Wallahualam bissawab. Tetapi kematian di atas sajadah setelah salat, sungguh
kematian yang indah bagi orang beriman.
Terakhir saya bertemu Masdun Pranoto sekitar tiga minggu sebelum ia wafat. Ia
bersama Wijoyo Hartono datang ke kantor. Mereka hendak melanjutkan
pembicaraan rencana penerbitan media BUMN Watch. Saya dan Marah Sakti
Siregar, Ketua Bidang Pendidikan PWI Pusat, menerima dia. Rencana itu sudah
diutarakan di dalam dua kali pertemuan sebelumnya. Saya menaruh hormat pada
semangat Masdun yang tinggi untuk menerbitkan media pers.
Tidak banyak yang berubah pada kawan ini. Ia tetap sebagaimana yang saya
kenal lebih 35 tahun lalu. Santun, taat beribadah, introvert, selalu penuh
gagasan, mampu memendam seberapa berat pun persoalan yang sedang dia hadapi.
Saya pertama kali berkenalan dengan Masdun Pranoto pada tahun 1975. Waktu itu
ia dalam posisi Redaktur Pelaksana HAB, sedangkan saya penulis lepas di media
itu. Tulisan biasa saya sampaikan melalui Masdun. Setelah beberapa kali
bertemu dan berdiskusi, tahun 1976 dia menawari saya bekerja secara tetap di
media tempatnya bekerja sejak tahun 1965.
Di masa itu ada dua redaktur pelaksana HAB, Masdun Pranoto dan Irsyad Sudiro.
Irsyad dan Masdun bersahabat sejak remaja. Setelah lulus Sekolah Guru Agama
(SGA) di Yogyakarta tahun 1961 mereka migran ke Jakarta. Dua wartawan senior
itulah yang membimbing selama saya bekerja di HAB.
Bakat guru Masdun amat lekat dalam pelaksanaan tugasnya. Prinsip
kehati-hatian dilaksanakan secara konsisten. Memang klop dengan prinsip kerja
jurnalistik secara universal. Ia selalu menuntun wartawan untuk memenuhi
syarat berita.
Tahun 1993 Masdun yang menjabat Wakil Pemimpin Redaksi resign dari HAB.
Mungkin karena ingin mencicipi suasana baru di luar HAB, maka ia menerima
tawaran pengusaha Osman Sapta Odang untuk menjadi Pemred Harian Suara
Khatulistiwa di Pontianak, Kalimantan Barat.
Dalam organisasi PWI, ada ketentuan mengatur anggota yang pindah bekerja di
media di luar domisili keanggotaan PWInya. Yang bersangkutan harus mutasi
keanggotaan ke daerah baru. Ketentuan itu yang membuat Masdun Pranoto
terpaksa mengundurkan diri dari jabatan Ketua PWI Jaya yang belum lama
dipangkunya. Ia digantikan oleh Tarman Azzam.
Belakangan saya baru tahu, ternyata ia sebenarnya tidak pernah pindah ke
Pontianak. Itu diungkap sendiri oleh Masdun ketika makan siang di resto khas
Makassar itu. Soal itu disinggung juga almarhum dalam catatannya, dalam buku
“Siapa-Siapa Wartawan Jakarta” (Editor Marah Sakti Siregar, 2003). Masdun
menyebutkan, Sofyan Lubis, Ketua PWI Pusat waktu itu, baru akan
menandatangani rekomendasi untuk Pemred Suara Khatulistiwa apabila Masdun
menyanggupi mutasi.
Jenazah almarhum Masdun Pranoto dimakamkan Selasa siang di TPU Depok Mas,
Depok Jaya. Keluarga, serta sejumlah sahabat dan rekan seprofesi mengantarkan
jenasah almarhum ke tempat peristirahatannya yang terakhir. Irsyad Sudiro,
mantan Ketua Badan Kehormatan DPR-RI menyampaikan sambutan mewakili keluarga.
Sambutan mewakili wartawan disampaikan oleh Ketua Dewan Kehormatan PWI Pusat,
Tarman Azzam.
Selamat jalan Masdun.
(*) Penulis adalah Sekretaris Dewan Kehormatan PWI Pusat dan Pemimpin
Redaksi Tabloid C&R.
*) Sumber PWI NEWS
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar