Email

# Email Redaksi : parahyanganpost@yahoo.co.id, parahyanganpostv@gmail.com - Hotline : +62 852 1708 4656, +62 877 7616 1166

Rabu, 03 Agustus 2011

Restorasi Penyelenggaraan Pemilu di Indonesia


JAKARTA,Parahyangan Post – Pemilihan Umum yang diselenggarakan di Indonesia pasca reformasi tahun 1999 memiliki perbedaan cukup signifikan dengan pemilu-pemilu sebelumnya, baik pada era pemerintahan Orde Lama dan Orde Baru. Sistem pemilu yang baru lebih mengedepankan apsek subtansial daripada prosedural formal yang cenderung dijadikan sebagai legitimasi politik kekuasaan rezim yang berkuasa. Produk undang-undang Pemilu pada masa reformasi setidaknya jadi titik tolak menuju perubahan sistem politik nasional yang lebih demokratis.

Paparan tersebut mengemuka dalam peluncuran dan bedah buku Restorasi Penyelenggaraan Pemilu di Indonesia buah karya Nur Hidayat Sardini di Belagio Café beberapa waktu lalu, sebagai pembicara dalam acara tersebut, H.Chairuman Harahap,SH,MH, politisi Partai Golkar dan Ketua Komisi II DPR-RI, Titi Anggraini, Direktur Eksekutif Porludem, dan Prof.Dr Jimly Asshiddiqie, S.H.

Menurut Nur Hidayat Sardini, pelanggaran pemilu akan terus saja terjadi ketika sejumlah tahapan pemilu dilangsungkan. Pelanggaran ini bukan hanya terjadi di tingkat nasional, namun juga di sejumlah daerah hingga ke tingkat pelosok, tegas mantan Ketua Bawaslu. Untuk itu lanjut Nur Hidayat, keberadaan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) sebagai lembaga yang ditunjuk secara resmi untuk mengawasi berlangsungnya berbagai tahapan pemilu diharapkan dapat mendorong pelaksanaan tahapan pemilu berjalan dengan baik.

Senada dengan Nur Hidayat, Prof.Dr.Jumly Asshiddiqie mengatakan fungsi pengawasan Pemilu merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari kegiatan yang tidak terpisahkan dari kegiatan internal komisi pemilihan umum. Namun karena banyaknya kekurangan yang dialami dan kurang efektifnya pengawasan yang bersifat internal dalam tubuh KPU, maka mulai Pemilu 2009 diadakan lembaga baru yang berada di luar dan sederajat dengan KPU sebagai pelaksana Pemilu. Penegasan hal ini lanjut mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) jelas tergambar dalam rumusan UU No.22 Tahun 2007 yang sangat berbeda dari rumusan sebelumnya yang terdapat dalam UU No.12 tahun 2003.

Dalam UU No.12 tahun 2003 dan UU No.32 tahun 2004, Pengawas Pemilu hanya berbentuk kepanitiaan yang bersifat ad hoc, yaitu Panitia Penagwas Pemilu (Panwaslu). Baru dalam UU No.22 tahun 2007, pengawasan itu dilembagakan menjadi Badan Penagwas Pemilu (Bawaslu) yang bersifat tetap dan mandiri. (ratman)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar