Email

# Email Redaksi : parahyanganpost@yahoo.co.id, parahyanganpostv@gmail.com - Hotline : +62 852 1708 4656, +62 877 7616 1166

Selasa, 11 Agustus 2009

Wisata Budaya

Penglipuran Desa Wisata Bali
Pegang Teguh Adat Istiadat


Penglipuran sebuah desa di kabupaten Bangli, Bali tepatnya di kelurahan Kubu, Kecamatan Bangli. Desa Penglipuran terletak pada jalur wisata Kintamani, sejauh 5 Km dari pusat kota Bangli, dan 45 Km dari pusat kota Denpasar.
Desa Penglipuran merupakan satu kawasan pedesaan yang memiliki tatanan spesifikasi dari struktur desa tradisional, sehingga menampilkan wajah pedesaan yang asri. Penataan fisik dari struktur desa tersebut tidak terlepas dari budaya masyarakatnya yang sudah berlaku turun-temurun. Keunggulan dari desa adat Penglipuran ini terletak pada struktur fisik desa yang serupa seragam dari ujung utama desa sampai ke bagian hilir desa. Keseragaman dari wajah desa tersebut di samping karena adanya keseragaman bentuk, juga dari keseragam bahan yaitu bahan tanah untuk tembok pagar (penyengker) dan gerbang rumah (angkul-angkul) dan atap dari bambu yang dibelah untuk seluruh bangunan desa.
Topografi desa tersusun sedemikian rupa di mana pada daerah utama desa ini menyebabkan pemerintah Propinsi Bali menetapkan desa Penglipuran sebagai daerah tujuan wisata pada tahun 1992.
Selain keseragaman bentuk bangunan, desa yang terletak pada ketinggian 700 meter dari permukaan laut ini juga memiliki sejumlah aturan adat dan tradisi unik lainnya. Salah satunya, pantangan bagi kaum lelakinya untuk beristri lebih dari satu atau berpoligami. Lelaki Penglipuran diharuskan menerapkan hidup monogami yakni hanya memiliki seorang istri. Pantangan berpoligami ini diatur dalam peraturan (awig-awig) desa adat. Dalam bab perkawinan (pawos pawiwahan) awig-awig disebutkan, krama Desa Adat Penglipuran tan kadadosang madue istri langkung ring asiki.
Artinya, krama Desa Adat Penglipuran tidak diperbolehkan memiliki istri lebih dari satu. Jika ada lelaki Penglipuran yang telah menikah naksir wanita lain lagi, maka cintanya harus dikubur sedalam-dalamnya. Sebab kalau melanggar aturan ini, akibatnya bisa disisihkan dari desa pakraman. Apa gawatnya ?. Gawatnya adalah jika lelaki Penglipuran beristri yang coba-coba merasa bisa berlaku adil dan menikahi wanita lain, maka lelaki tersebut akan dikucilkan di sebuah tempat yang diberi nama ‘Karang Memadu. Karang artinya tempat dan memadu artinya berpoligami. Jadi, Karang Memadu merupakan sebutan untuk tempat bagi orang yang berpoligami. Karang Memadu merupakan sebidang lahan kosong di ujung selatan desa.
Penduduk desa akan membuatkan si pelanggar itu sebuah gubuk sebagai tempat tinggal bersama istrinya. Dia hanya boleh melintasi jalan-jalan tertentu di wilayah desa. Artinya, suami istri ini ruang geraknya di desa akan terbatas. Tak Cuma itu, pernikahan orang yang berpoligami itu juga tidak akan dilegitimasi desa, upacara pernikahannya tidak dipimpin oleh Jero Kubaya yang merupakan pemimpin tertinggi di desa dalam pelaksanaan upacara adat dan agama. Implikasinya karena pernikahan itu dianggap tidak sah, maka orang tersebut juga dilarang bersembahyang di pura-pura yang menjadi emongan (tanggung jawab) desa adat. Mereka hanya diperbolehkan sembahyang di tempat mereka sendiri.
Melihat hukuman yang menakutkan yang akan diterima oleh lelaki yang bermaksud berpoligami ini, sampai sekarang tidak ada lelaki Penglipuran yang berani bersujud di kaki istrinya agar diijinkan menikah lagi. Karang Memadu yang disiapkan oleh desa tetap tidak berpenghuni dan bahkan oleh penduduk desa dianggap sebagai karang leteh (tempat yang kotor).
Mungkin lelaki Penglipuran lebih memilih hidup nyaman dengan satu istri daripada digilir dua istri dan dicuekin orang se-desa. * (eka/bali)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar